“Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”- Pramoedya Ananta Toer

Alasan

/ 5/21/2017 03:13:00 AM



Pernah ngga sih kalian punya cerita, kisah, masalah, atau apapun yang mengganggu pikiran kalian and you don’t have person to share with?

Gue pernah. Bahkan sampai sekarang.

Well, actually bukannya gue ngga punya orang untuk berbagi, kesannya seperti gue ngga punya teman atau keluarga. Tapi, gue seperti dalam kondisi dimana gue ngga bisa mempercayakan orang lain untuk mendengarnya. Ketika ada sesuatu yang mengganggu pikiran, gue lebih cenderung untuk memendamnya sendiri atau jika misalnya ketahuan lagi ada masalah, gue akan mengcover itu dengan cerita lain.

Kenapa gue begitu? Alasan halusnya sih, trauma. Gue pernah mengalami kejadian dimana sampai akhirnya gue berpikir bahwa ketika gue menceritakan masalah gue ke orang lain, orang itu sebenarnya ngga peduli. It means, ketika gue punya masalah dan itu mengganggu pikiran gue, dalam pikiran orang lain,

“Elah.. masalah sepele begitu dipikirin,”

Jadi, orang lain seperti memandang sebelah mata apapun yang gue pikirin. Sehingga, gue takut menceritakan apa yang gue pikirin ke orang lain. Mungkin, itu juga yang membuat gue introvert, lebih sering di rumah ketimbang nongkrong dengan orang lain, kalau jalan-jalan keluar rumah entah itu nonton di bioskop atau ke toko buku atau pergi makan lebih sering sendirian, bahkan sering banget ngomong sendiri sampai dikirain aneh oleh orang lain.

Itu juga alasan kenapa gue menulis. Karena ini satu-satunya jalan sekarang yang gue punya untuk mencurahkan apa yang ada dalam pikiran gue. Karena semakin lama gue pendam, bisa gila jadinya gue nanti. Let me tell you, beberapa post di blog ini menceritakan sesungguhnya apa yang gue rasakan, hanya saja gue desain supaya kelihatan tidak terlalu mengenaskan. Jadi, orang lain hanya melihat postingan di blog ini sebagai karya gue, bukan perasaan gue.

Raditya Dika pernah bilang di sebuah seminar kepenulisan, “Tulisan terbaik adalah yang berasal dari pengalaman sendiri,” So, this is what I do these days.

Gue lagi membuat cerita semi-fiksi. Kenapa gue bilang semi-fiksi? Karena cerita itu mengandung apa yang sebenarnya terjadi kepada gue dan gue tutupi dengan bumbu fiksi. Jadi, gue bisa mencurahkan apa yang gue pendam, dan orang lain kemungkinan mau membacanya juga meningkat. Win-win solution.

Dasar lain gue membuat cerita ini sebenarnya dari salah satu perkataan Bernard Batubara, seorang penulis. Dulu dia bilang, “How to be a good writer : 1. Love Someone ; 2. Let it breaks your heart ; 3. Write a story about your broken love ; 4. Publish it ; 5. Be happy.”

Nah, gue lagi dalam tahapan ketiga, and it’s still a long way to go untuk sampai ke tahap terakhir, be happy.

Gue rencananya mau buat long love story dan nanti dipublish ke blog ini. Ya, berhubung yang baca blog ini cuma ada tiga tipe : Ga sengaja atau lagi ngga ada kerjaan atau gue paksa, jadi gue ngga terlalu memusingkan siapa yang baca dan apa nanti yang akan terjadi setelah selesai nulis ini. Citra gue sebagai orang baperan udah terlalu melekat di mata orang lain.

Semoga dengan gue ngepost ini, gue jadi rajin menyelesaikan cerita ini.

Regards,
Weirdo Koala Knight.



Pernah ngga sih kalian punya cerita, kisah, masalah, atau apapun yang mengganggu pikiran kalian and you don’t have person to share with?

Gue pernah. Bahkan sampai sekarang.

Well, actually bukannya gue ngga punya orang untuk berbagi, kesannya seperti gue ngga punya teman atau keluarga. Tapi, gue seperti dalam kondisi dimana gue ngga bisa mempercayakan orang lain untuk mendengarnya. Ketika ada sesuatu yang mengganggu pikiran, gue lebih cenderung untuk memendamnya sendiri atau jika misalnya ketahuan lagi ada masalah, gue akan mengcover itu dengan cerita lain.

Kenapa gue begitu? Alasan halusnya sih, trauma. Gue pernah mengalami kejadian dimana sampai akhirnya gue berpikir bahwa ketika gue menceritakan masalah gue ke orang lain, orang itu sebenarnya ngga peduli. It means, ketika gue punya masalah dan itu mengganggu pikiran gue, dalam pikiran orang lain,

“Elah.. masalah sepele begitu dipikirin,”

Jadi, orang lain seperti memandang sebelah mata apapun yang gue pikirin. Sehingga, gue takut menceritakan apa yang gue pikirin ke orang lain. Mungkin, itu juga yang membuat gue introvert, lebih sering di rumah ketimbang nongkrong dengan orang lain, kalau jalan-jalan keluar rumah entah itu nonton di bioskop atau ke toko buku atau pergi makan lebih sering sendirian, bahkan sering banget ngomong sendiri sampai dikirain aneh oleh orang lain.

Itu juga alasan kenapa gue menulis. Karena ini satu-satunya jalan sekarang yang gue punya untuk mencurahkan apa yang ada dalam pikiran gue. Karena semakin lama gue pendam, bisa gila jadinya gue nanti. Let me tell you, beberapa post di blog ini menceritakan sesungguhnya apa yang gue rasakan, hanya saja gue desain supaya kelihatan tidak terlalu mengenaskan. Jadi, orang lain hanya melihat postingan di blog ini sebagai karya gue, bukan perasaan gue.

Raditya Dika pernah bilang di sebuah seminar kepenulisan, “Tulisan terbaik adalah yang berasal dari pengalaman sendiri,” So, this is what I do these days.

Gue lagi membuat cerita semi-fiksi. Kenapa gue bilang semi-fiksi? Karena cerita itu mengandung apa yang sebenarnya terjadi kepada gue dan gue tutupi dengan bumbu fiksi. Jadi, gue bisa mencurahkan apa yang gue pendam, dan orang lain kemungkinan mau membacanya juga meningkat. Win-win solution.

Dasar lain gue membuat cerita ini sebenarnya dari salah satu perkataan Bernard Batubara, seorang penulis. Dulu dia bilang, “How to be a good writer : 1. Love Someone ; 2. Let it breaks your heart ; 3. Write a story about your broken love ; 4. Publish it ; 5. Be happy.”

Nah, gue lagi dalam tahapan ketiga, and it’s still a long way to go untuk sampai ke tahap terakhir, be happy.

Gue rencananya mau buat long love story dan nanti dipublish ke blog ini. Ya, berhubung yang baca blog ini cuma ada tiga tipe : Ga sengaja atau lagi ngga ada kerjaan atau gue paksa, jadi gue ngga terlalu memusingkan siapa yang baca dan apa nanti yang akan terjadi setelah selesai nulis ini. Citra gue sebagai orang baperan udah terlalu melekat di mata orang lain.

Semoga dengan gue ngepost ini, gue jadi rajin menyelesaikan cerita ini.

Regards,
Weirdo Koala Knight.
Continue Reading

Hujan tidak pernah setidak menyenangkan ini.
Sabtu pagi, miliaran tetes hujan membasahi tanah bumi yang seolah merindukannya. Mereka jatuh ke bumi seperti air mata yang membasahi kedua pipimu di malam itu. Salah satu malam yang tidak pernah bisa aku lupakan selama hidupku. Malam yang menyadarkan aku bahwa tiga tahun mengenal dirimu, ah bukan.. mencinta dirimu seperti hal yang paling sia-sia kulakukan seumur hidupku.
Di detik pertamaku mengenal dirimu. Detik itulah detik pertamaku jatuh cinta padamu. Namun, detik itulah detik pertamaku menjadi orang terbodoh di muka bumi ini. Tidak peduli seberapa bagus nilai akademikku, tidak peduli seberapa cemerlang otakku. Tetap menjadi orang terbodoh jika berada di hadapanmu.
Bodoh.
Bodoh karena mencintai dirimu. Bodoh karena berusaha menyakiti dirimu. Bodoh karena harus melintasi ribuan kilometer jarak di setiap pekannya seperti hari ini hanya untuk berdiri di depan rumahmu dan bodoh karena takut untuk menyapa dirimu.
Aku memasuki fase dimana aku berusaha untuk tidak mencintai dirimu karena aku mencintai dirimu. Berusaha untuk tidak mencintai dirimu karena kamu mencintai orang lain. Berusaha untuk tidak mencintai dirimu dengan cara menyakiti dirimu. Meninggalkan sebuah luka yang besar di hatimu dan memunculkan bencimu terhadap aku. Pikirku, dengan kamu membenci diriku, aku bisa berhenti mencintai dirimu.
Naif dan bodoh di saat yang bersamaan.
Mengapa kulakukan itu? Sakit hati? Mungkin. Karena sakit hati bisa membuat kita malas untuk jatuh cinta. Itulah mengapa kulakukan itu. Itulah caraku menambah sakit hatiku. Membuatmu membenciku akan menambah rasa sakit hatiku. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiranku.
Namun, itu salah. Rasa sakit hati itu tidak pernah memudarkan rasa cintaku padamu.
Itulah kenapa aku masih berdiri di sini. Di depan rumahmu. Di bawah miliaran tetes hujan. Dengan memegang payung hitam di tangan kiriku dan apel di tangan kananku.
Kamu tahu? Di Seoul sana, apel disebut sagwa. Sama seperti kata permintaan maaf. Itulah mengapa aku selalu menaruh sebuah apel di depan rumahmu di setiap pekan aku berdiri di depan rumahmu. Tidak peduli apapun yang terjadi, apel itu akan selalu menjadi permintaan maafku kepadamu. Karena aku tidak pernah berani berhadapan denganmu dan meminta maaf langsung.
Maafkan aku.
Istirahatlah dengan tenang disana.

Apel

by on 3/26/2017 01:22:00 AM
Hujan tidak pernah se tidak menyenangkan ini. Sabtu pagi, miliaran tetes hujan membasahi tanah bumi yang seolah merindukannya. Mer...

Aku nggak setuju dengan konsep bahwa kita ingin menikahi orang yg bisa membuat kita bahagia. Big mistake.

Kamu harus bisa bahagia sendiri dulu. You have to be able to make yourself happy first. Karena kebahagiaan itu nggak bisa digantungkan ke orang lain. Kita sendiri yang bertanggungjawab atas kebahagiaan kita sendiri.

"Aku ingin mencari orang yg bisa membuatku merasa utuh."

No, you have to feel completed with yourself first, then you find someone.

If you’re unhappy being single and then you hope getting married will make you happy, I’m sorry to burst your bubble but that’s not gonna happen.

Kalo kamu milih nikah karena kamu nggak tahan ditanyain terus sama keluarga atau teman-teman kamu, "Kapan nikah?" Atau pertanyaan sejenisnya, itu pun nggak serta-merta bikin kamu happy.

Salahnya adalah karena niat awalnya adalah pelarian. Apapun keputusan hidup kamu kalo niatnya melarikan diri, ya susah bisa bener-bener happy.

Happy

by on 3/18/2017 03:34:00 AM
Aku nggak setuju dengan konsep bahwa kita ingin menikahi orang yg bisa membuat kita bahagia. Big mistake. Kamu harus bisa bahagia send...


A random thought before facing the weekend. This thought came up when I decided to buy a 3x3 Rubik’s cube last weekend.

Throwback dulu ke ketika gue pertama kali main Rubik. It’s around 7 or 8 years ago. Jadi, yang ngenalin Rubik ini pertama kali adalah sepupu gue yang tinggal di Bekasi. Waktu libur panjang semester, keluarga sepupu gue datang ke rumah buat berlibur. Nah, saat itulah sepupu gue mengenalkan Rubik ini. Dalam kurang lebih tiga minggu, gue diajarin sepupu gue how to solve the Rubik’s cube (dan juga diajakin main Point Blank). And I made it.

Sebulan kemudian, gue punya Rubik sendiri.

Tapi, ketika gue masuk SMA eh MAN, gue vakum main Rubik sampai dengan pekan lalu. Jadi, besides it easy to play and low cost, membeli Rubik ini membawa kenangan masa lalu.

Tapi, problem dari lama ngga pernah main Rubik adalah lupa how to solve it. Untuk solving the Rubik’s cube, ada tahapan-tahapan dan rumus-rumus yang harus dihafal untuk menyelesaikan layer by layer nya. Side by side nya. Jadi, sepanjang weekend kemarin gue cuma di kosan dan belajar buat ngesolve Rubik lagi dari awal.

Gue belajarnya dari internet. Ada situs yang menjelaskan dengan cukup jelas dan sederhana mengenai tahapan dan rumusnya. Setelah gue coba ikutin sekali dua kali, it feels totally different dengan gaya gue ngesolve Rubik dulu walaupun tahapannya masih sama. Tapi, semakin lama gue coba main Rubik setiap saat gue ada kesempatan dalam tiga hari gue semakin mendekati gaya solving gue yang dulu dan akhirnya gue memakai gaya itu sekarang. Ini seperti membuka ingatan lama gue tentang cara ngesolve Rubik.

Aneh ya.

Hanya dalam waktu tiga hari, gue bisa membuka ingatan gue dari delapan tahun yang lalu. Menurut gue sih luar biasa, mengingat banyak sekali kejadian, peristiwa, ingatan selama dalam waktu delapan tahun yang menumpuk ingatan tentang ngesolve Rubik ini.

Hal yang gue pahami tentang memori adalah seperti tumpukan kertas. Ketika kita membuat sebuah ingatan atau memori tentang sesuatu apapun itu akan diletakkan di tumpukan kertas dan akan berulang terus ketika kita membuat ingatan atau memori yang baru. Sehingga, kertas yang diletakkan pertama akan tertumpuk dengan kertas yang baru dan akan mencapai fasa dimana kertas atau memori itu akan jauh dibawah tumpukan kertas tersebut.

Fasa itu sering kita sebut dengan lupa. Batas dimana sejauh apa kita bisa mengingat memori ingatan kita. Mengesampingkan memori paten seperti nama kita atau keluarga kita, nama sekolah atau guru yang pernah mengajar kepada kita, nama buah, sayur, dan lain-lain. Semua memori itu akan seperti tumpukan kertas seperti nama orang yang pernah kita temui di masa lalu, kejadian yang pernah terjadi masa lalu, makanan apa yang kita makan dulu, soal ujian fisika yang pernah diujiankan dulu, hingga rumus Rubik yang pernah dipelajari dulu.

Tapi, satu yang gue yakini adalah kita ngga akan pernah lupa kertas-kertas itu sejauh apapun kertas itu ditumpuk. Hal yang kita butuhkan hanyalah pemicunya.

Semua memori itu buat gue ada pemicunya. Jadi, ketika kita kena atau melihat pemicunya, akan terbuka memori itu sejauh apapun memori itu tertumpuk. Mungkin berbeda untuk beberapa orang, tapi umumnya seperti itu. Pemicunya bisa dalam bentuk macam-macam. Buku, film, benda, tempat, suasana, dan lain-lain.

Gue misalnya. Bagi gue salah satu pemicu memori gue adalah film Annabelle. Alasannya? Itu film yang gue tonton pertama kali waktu gue ngedate dulu dengan seseorang. A silly choice I guess to decide a horror movie as your first date movie. Ngga surprise sih kalau ngga berhasil relationshipnya. Tapi, itu tetap sebuah memori yang pernah gue buat dan itu tertumpuk dalam tumpukan kertas gue.

Dengan pemahaman ini, gue sering bingung dengan konsep move on yang ada sekarang. Move on ini kan tujuannya untuk membuka lembaran baru. Nah, untuk mencapai tujuan itu, kita disuruh untuk melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di masa lalu. Kenangan mantan to be specific. Kan banyak tuh meme yang menyebarkan ajaran itu. Sejujurnya, kita memang ngga bisa aja buat ngelupain kenangan masa lalu selama pemicu itu masih ada dan ngga semua pemicu itu bisa dihilangkan. Bahkan, beberapa pemicu itu bersifat paten sehingga memang akan tetap terus ada. Muka mantan pun bisa jadi pemicu lho. Jadi, kalau disuruh ngelupain kenangan dengan mantan, jangan harap. Kalau ada yang bilang dia bisa melupakan kenangan dengan mantan, dia hanya mengkamuflase pemikirannya dan sesungguhnya dia ngga bisa benar-benar lupa seratus persen.

Memori itu akan tetap terus ada dan akan muncul setiap kita kena dengan pemicunya. Kalau mau melupakan kenangan, jedotin aja kepala lo sampai gegar otak lo, hilang deh itu kenangan dengan memori-memorinya sekalian.

A Stack of Paper

by on 3/11/2017 03:35:00 AM
A random thought before facing the weekend. This thought came up when I decided to buy a 3x3 Rubik’s cube last weekend . Throwb...