“Jadi, menurutmu harus melewati kesendirian untuk mendapatkan cinta, begitu?” tanyanya setelah aku menjelaskan.
     “Tidak juga. Mungkin lebih ke memahami kesendirian. Ya, walaupun untuk memahami kesendirian, jalan yang paling bagus itu dengan merasakannya.”
     “Tapi, aku sudah merasakannya. Terus, cinta itu kapan datang? Tuhan tidak adil!”
     “Pasti ada waktunya. Kalau kau belum dapat, pasti Tuhan sudah menyiapkan  yang terbaik untuk kau. Sabar saja.”
     “Sebenarnya, ada seorang pria yang dekat denganku.”
     “Seberapa dekat?”
     “Cukup dekat. Kami bahkan sudah saling mengenalkan orang tua. Aku merasa sepertinya dia adalah jodohku. Tapi, ternyata tidak.”
     “Kenapa?”
     “Karena dia berselingkuh dengan wanita lain.”
     “Pasti temanmu.”
     “Bagaimana kau tahu?”
     Aku tertawa kecil, “Di Indonesia, paling besar presentase pasangan yang selingkuh itu selingkuh dengan temannya atau teman pasangannya. Contohnya, ada musisi di sana juga melakukannya,” dia hanya terdiam, “Makanya, kadang-kadang sinetron atau film yang dibuat disana itu, permasalahannya tidak jauh-jauh dari itu. Selingkuh,” tambahku.
     “Laki-laki itu banyak yang tidak setia!” bentaknya dengan nada yang sedikit meninggi. Aku memasang tampang poker face. Apa dia tidak sadar kalau dia sedang berbicara dengan laki-laki?
     “Sudah. Mungkin memang bukan dia jodohmu. Masih ada milyaran laki-laki selain dia, pasti Tuhan sudah menyimpan yang terbaik buat kau,” nasihatku.
     Dia langsung menatapku tajam, “Kau mau modus dan mengambil hatiku?”
     Aku tertawa, “Tidak. Aku sedang tidak minat modusin perempuan.”
     Dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Aku pun menatap jendela itu. Ternyata, hujan sedang membasahi tanah Singapura. Hujan pada bulan Desember. Orang-orang di luar berlari kecil mencari tempat berteduh. Ada juga pasangan muda yang berteduh di depan kafe ini. Sepertinya, doa para jomblo di malam minggu dikabulkan Tuhan kali ini.
     “Hei,” suara wanita di depanku membuyarkan lamunanku.
     “Kenapa?”
     “Coba kau bicara tentang kesetiaan, aku mau mendengar pendapatmu tentang kesetiaan,” ujarnya.
     Aku berpikir sejenak, “Kesetiaan itu…”
***
     Bisa diibaratkan toko yang menjual vas-vas porselen yang indah. Toko yang kuncinya diberikan pada kita oleh cinta.
     Tiap-tiap vas itu indah karena saling berbeda, sebagaimana halnya setiap orang, setiap tetes hujan, setiap batu karang yang terlelap di lereng gunung.
     Kadang-kadang, karena termakan usia atau kerusakan kecil tak terlihat, salah satu rak ambruk dan isinya berjatuhan. Lalu, si pemilik toko berkata pada dirinya sendiri, “Selama bertahuun-tahun aku mencurahkan waktu dan kasih sayangku pada koleksi vas ini. Namun, mereka mengkhianatiku dan pecah berkeping-keping.”
     Maka dia pun menjual tokonya dan pergi dari situ. Dia menjadi manusia yang pahit dan penyendiri, sebab dia merasa takkan pernah bisa memercayai siapa pun lagi.
     Memang benar, ada beberapa vas yang pecah seperti janji setia yang dilanggar. Dalam hal demikian, sapulah keeping-keping yang pecah itu dan buanglah, sebab apa yang sudah pecah takkan pernah bisa sama lagi.
     Tetapi, kadang-kadang sebuah rak ambruk dan pecah bukan semata-mata karena perbuatan manusia. Bisa jadi karena gempa bumi, invasi musuh, atau kecerobohan orang yang masuk ke dalam toko tanpa melihat kiri-kanan.
     Para lelaki dan perempuan saling menyalahkan. Kata mereka, “Harusnya ada orang yang tahu hal ini akan terjadi,” atau, ” Seandainya aku mengawasi, masalah ini tentunya bisa dihindari.”
     Padahal ini salah besar, kita semua terpenjara dalam butiran-butiran waktu, dan tidak ada kendali atasnya.
     Waktu berlalu, dan rak yang ambruk itu diperbaiki.
     Vas-vas lain berebut ingin mendapat tempat di dunia dan dipajang di sana. Pemilik toko yang baru, memahami bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Maka dia tersenyum dan berkata dalam hati, “Tragedi itu membuka peluang baru untukku dan akan kucoba memanfaatkannya sebaik mungkin. Akan kutemukan karya-karya seni yang selama ini bahkan tidak kuketahui keberadaannya.”
     Keindahan toko yang menjual vas-vas porselen itu adalah keunikan tiap-tiap vasnya, namun, ketika dipajang berdampingan, vas-vas itu memancarkann keselarasan dan mencerminkan kerja keras si pembuatnya, serta jiwa seni pelukisnya.
     Masing-masing karya seni bisa berkata dengan mudahnya, “Aku ingin diperhatikan, dan aku akan keluar dari sini.” Tapi begitu dia mencoba melakukannya, dia pun diubah menjadi tumpukan beling tak berguna.
     Seperti halnya vas-vas itu, begitu pula dengan laki-laki dan perempuan.
     Setelah memahami hal ini, barulah kita bisa duduk berdampingan dengan tetangga kita di penghujung hari, mendengarkan perkataannya dengan rasa hormat, dan menanggapi dengan ucapan yang perlu didengarnya. Dan kita tak akan mencoba memaksakan pendapat kita pada satu sama lain.
     Di atas pegunungan yang memisahkan suku-suku bangsa, di atas jarak yang memisahkan raga, ada komunitas jiwa-jiwa. Dan kita adalah bagian dari komunitas itu. Jalanan-jalanannya tidak disesaki dengan kata-kata yang asal terucap, yang ada hanyalah jalanan-jalanan lebar yang menghubungkan tempat-tempat jauh, dan sesekali mesti diperbaiki karena rusak dimakan waktu.
     Dengan demikian, kekasih yang pulang takkan pernah dipandang dengan curiga, sebab kesetiaan menemani setiap langkahnya.
***
     Aku menarik nafas panjang setelah menjawab pertanyaannya. Dia hanya terpaku melihatku.
     “Aku tidak mengerti.”
     “Tidak perlu kau mengerti. Nanti juga kau akan merasakan.”
     Lalu, hanya keheningan yang berembus diantara kita. Suasana kafe itu pun sudah mulai sepi, orang-orang sudah mulai pulang. Hujan juga sudah mulai berhenti. Aku menengok arloji di tanganku. Waktu cepat sekali berlalu.
     “Terima kasih sudah menemaniku malam ini. Jawaban-jawabanmu itu sedikit membuka pikiranku,” ujarnya.
     Anytime. Senang bisa membantu.”
     “Sepertinya, aku harus pergi. Sudah mulai larut ini,” katanya sambil berdiri dari tempat duduknya dan bersiap beranjak pergi.
     “Tunggu,” ujarku sambil menahan tangannya, “Kita sudah berbicara lama, tapi aku belum tahu namamu.”
     Dia tersenyum. “Namaku adalah…”

END.
Inspired by Paulo Coelho’s book
“Manuscrito Encontrado em Accra”


Sasaran mulia kita dalam hidup ini adalah untuk mencintai. Selebihnya hanya keheningan.
     Kita butuh mencintai. Walaupun cinta itu membawa kita ke negeri yang danau-danaunya diisi dengan air mata.
     Air mata mempunyai bahasanya sendiri. Kita merasa sudah menumpahkan seluruhnya, tapi masih juga air mata itu mengalir tak terbendung. Sebaliknya, saat kita yakin hidup kita ditakdirkan menjadi suatu perjalanan panjang di Lembah Kesedihan, tiba-tiba air mata itu berhenti mengalir.
     Sebab, kita berhasil untuk tetap membuka hati, walau di tengah penderitaan.
     Sebab, kita sadari bahwa orang yang meninggalkan kita tidak membawa pergi matahari bersamanya, tidak juga menyisakan kegelapan di tempat yang mereka  tinggalkan. Mereka sekedar pergi, dan dalam setiap perpisahan selalu tersembunyi sepercik harapan.
     Lebih baik pernah mencintai dan kehilangan daripada tak pernah mencintai sama sekali.
     Satu-satunya pilihan sejati kita adalah terjun ke dalam misteri daya yang tak terkendalikan itu. Bisa saja kita berkata, ‘Aku pernah mengalami penderitaan besar, dan aku tahu cinta ini juga tak akan bertahan lama,’ dan dengan demikian kita pun mengusir cinta yang datang mengetuk pintu. Tetapi, jika itu kita lakukan, berarti kita menutup diri terhadap kehidupan.
     Kita mencintai sebab cinta membebaskan kita, dan membuat kita berani mengucapkan hal-hal yang sebelumnya tak berani kita bisikkan pada diri sendiri sekalipun.
     Kita belajar berkata tidak, tanpa menganggap kata itu sebagai kutukan.
     Kita belajar berkata ya tanpa takut akan konsekuensi-konsekuensinya.
     Kita lupakan semua yang diajarkan kepada kita tentang cinta, sebab setiap pertemuan pasti berbeda dan membawa kepedihan serta sukacitanya masing-masing.
     Kita bernyanyi lebih lantang saat orang yang kita cintai berada jauh dari kita, dan kita bisikkan puisi-puisi saat dia dekat dengan kita, walau seandainya dia tidak mendengarkan dan tidak menaruh perhatian pada nyanyian maupun bisikan itu.
     Kita tidak menutup mata terhadap alam semesta, lalu mengeluh, ‘Gelap sekali.’ Kita justru membuka mata lebar-lebar, sebab kita tahu cahaya itu bisa menuntun kita untuk melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan. Semua itu bagian dari cinta.
     Hati kita terbuka untuk cinta, dan kita pasrahkan diri kepadanya, tanpa rasa takut, sebab tak ada lagi yang bisa diambil dari kita.
     Lalu, sesampainya di rumah, kita lihat ada seseorang yang menunggu kita. Orang yang mencari hal yang sama, mengalami kecemasan dan kerinduan-kerinduan yang sama.
     Sebab, cinta ibarat air yang berubah menjadi awan, air itu terangkat ke langit dan bisa melihat segala sesuatu dari kejauhan, menyadari bahwa suatu hari dia harus kembali ke Bumi.
     Sebab, cinta bisa diibaratkan awan yang berubah menjadi hujan. Hujan yang terpikat pada Bumi dan turun untuk mengairi ladang-ladang.
     Cinta hanya sebuah kata, sampai kita biarkan cinta menguasai kita dengan segenap dayanya. Cinta hanya sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberikan maknanya.
     Jangan pernah sekalipun menyerah. Ingatlah, kunci yang bisa membuka pintu selalu kunci terakhir dalam rangkaiannya.
***
     Setelah aku menjelaskan jawabanku, dia hanya terpaku menatap mataku. Seolah terbius dengan kata-kataku tadi. Lalu, dia berkata.
     “Untaian kata-katamu itu sangat indah. Seolah kamu paham betul tentang cinta. Namun, kenapa kamu masih sendiri?”
     Aku hanya tersenyum kecil ketika dia menanyakan hal itu, “Kesendirianku saat ini adalah takdirku. Hanya masalah waktu, Tuhan akan mengubah kesendirianku menjadi kebersamaan dengan orang lain yang akan menemaniku dan mencintaiku sampai sang Malaikat Maut menemuiku.”
     “Apa tak ada orang yang pernah mencintaimu?” tanyanya.
     “Sejauh ini tak ada. Makanya, aku masih mencari siapa yang akan mencintaiku. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku takkan pernah menyerah untuk masalah mencintai ini.”
     “Berarti, cintamu selalu bertepuk sebelah tangan?” tanyanya lagi.
     “Ya, sejauh ini iya. Bahkan pernah suatu ketika aku lulus dari SMA ku, aku merencanakan mengungkapkan perasaanku terhadap seseorang yang satu sekolah denganku. Perasaan yang sudah aku pendam selama hampir 3 tahun! Bayangkan, 3 tahun! Dan ketika aku mengungkapkannya, dia menolak dengan alasan menyukai orang lain yang tak lebih adalah temanku sendiri.”
     “Wah, ironis sekali.”
     “Kau boleh berkata seperti itu. Memang ironis. Perasaan yang kau semai dan kau jaga begitu lama, hancur lebur berkeping-keping dengan satu kalimat penolakan. Tetapi, dalam kasus-kasus cinta yang bertepuk sebelah tangan pun selalu ada harapan bahwa suatu hari nanti cinta itu akan berbalas.”
     Dia hanya terdiam sesaat, dan menanyakan sesuatu lagi.
     “Jadi, kau sudah menyendiri sejak kapan?”
     “Hampir setahun. Sejak dia yang tadi kuceritakan menolakku.”
     “Apa yang kau dapatkan dari kesendirianmu ini? Jujur saja, aku takkan sanggup untuk menyendiri selama itu,”
     Aku menyunggingkan senyumku, dan mulai menjawab pertanyaannya.
***
     Tanpa kesendirian, cinta takkan bertahan lama  disampingmu.
     Sebab, cinta perlu melepas lelah, supaya dapatlah dia berkelana di awan-awan surga dan menjelmakan dirikan dalam beragam rupa.
     Tanpa kesendirian, tanaman dan hewan takkan bertahan, tanaman tidak berproduksi, anak kecil tidak akan belajar tentang kehidupan, seniman tidak berkarya, pekerjaan tidak berkembang dan berubah.
     Kesendirian bukan berarti tak ada cinta, melainkan justru menyempurnakannya.
     Kesendirian bukan berarti tak berkawan, melainkan saat bagi jiwa kita untuk bebas berbicara dan membantu memutuskan yang hendak kita lakukan atas hidup kita.
     Maka, diberkatilah mereka yang tidak takut akan kesendirian, yang tidak gentar berkawan dengan dirinya sendiri, yang tidak senantiasa membutuhkan kegiatan, sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, sesuatu untuk dihakimi.
     Bila tak pernah sendirian, mana mungkin kau mengenal dirimu sendiri. Dan bila tidak mengenal dirimu sendiri, kau akan  mulai takut akan kekosongan.
     Namun, kekosongan itu tak ada. Sebab dalam jiwa kita ada semesta yang sangat luas dan menunggu ditemukan. Semesta itu ada dengan segenap kedigdayaannya yang utuh, namun begitu baru  dan perkasa sehingga kita takut mengakui keberadaannya.
     Dalam upaya menemukan diri, kita akan dipaksa mengakui bahwa kita sanggup melangkah lebih jauh ketimbang yang kita kira. Itu sebabnya kita takut. Lebih baik tidak mengambil resiko itu.
     Begitu rasanya lebih nyaman. Lebih aman. Lagi pula, itu sama saja dengan melepaskan kehidupanmu yang sekarang.
     Maka, celakalah mereka yang menghabiskan umurnya dan berkata, ‘Aku tak pernah punya kesempatan!’.
     Sebab hari demi hari mereka tenggelam semakin dalam di sumur keterbatasan-keterbatasan mereka sendiri, dan pada waktunya nanti mereka tak punya tenaga lagi untuk memanjat keluar dang menemukan cahaya terang yang memancar dari lubang di atas kepala mereka.
     Tetapi, diberkatilah mereka yang berkata, ‘Aku tidak cukup berani.’.
     Sebab, mereka tahu bahwa itu bukan salah siapa-siapa. Dan cepat atau lambat, mereka akan menemukan keyakinan yang dibutuhkan untuk menghadapi kesendirian beserta misteri-misterinya.
     Bagi mereka yang tidak takut pada kesendirian yang mengungkapkan segala misteri, semuanya akan terasa berbeda.
     Dalam kesendirian, akan mereka temukan cinta yang kedatangannya mungkin luput dari perhatian. Dalam kesendirian, mereka akan memahami dan menghargai cinta yang telah pergi.
     Dalam kesendirian, mereka bisa memutuskan, layakkah mereka meminta cinta yang telah pergi untuk kembali, atau sebaiknya biarkan dia berlalu dan membuka lembaran baru lagi.
     Dalam kesendirian, mereka akan belajar bahwa berkata tidak, belum tentu tanda tak murah hati, dan berkata ya, bukan selalu merupakan kebajikan.
     Dan mereka yang saat ini sedang sendirian, tak perlu merasa takut mendengar ucapan si Iblis, ‘Kau hanya membuang-buang waktumu.”
     Atau, bahkan ucapan si raja Iblis yang lebih beracun, ‘Tidak ada yang peduli padamu.”
     Energi Ilahi mendengarkan saat kita berbicara pada orang-orang lain, juga sewaktu kita berdiam diri, membisu, dan sanggup menerima kesendirian sebagai berkat.
     Dan pada saat-saat demikian, cahaya-Nya menerangi semua yang ada di sekitar kita dan membantu kita melihat diri kita dibutuhkan, dan bahwa kehadiran kita di dunia ini membawa perbedaan yang sangat besar terhadap karya-Nya.
     Dan saat keselarasan itu tercapai, kita telah mendapatkan lebih dari yang kita minta.
     Bagi mereka yang merasa tertekan oleh kesendirian, penting untuk diingat bahwa pada saat-saat paling krusial dalam hidup ini, kita selalu sendirian.
     Buktinya?
     Lihatlah anak kecil yang baru lahir dari rahim perempuan. Sebanyak apapun orang lain yang ada di sekitarnya, pilihan untuk hidup ada pada anak itu sendiri.
     Atau seniman dan penulis dengan karyanya. Agar karyanya benar-benar gemilang, mereka hanya perlu berdiam diri dan mendengarkan bahasa para malaikat.
     Ataupun saat kita berhadapan dengan Tamu Tak Diundang. Sang Maut. Kita akan sendirian pada saat paling penting dan paling ditakuti dalam eksistensi hidup kita.
     Seperti halnya cinta merupakan kondisi Ilahi, demikan pula kesendirian, merupakan kondisi manusia. Dan bagi mereka yang memahami keajaiban hidup kedua unsur tersebut, cinta dan kesendirian, hidup berdampingan dengan damai.
***

Bersambung...


Kisah yang akan kuceritakan ini adalah kisah yang kualami ketika bertemu dengan seorang wanita di dataran Singapura beberapa tahun yang lalu.
     Ketika itu, aku sedang berlibur dengan sanak keluargaku di Singapura. Negara kota ini sangatlah ramai. Tak pernah sepi. Malam ketika aku bertemu wanita itu kebetulan adalah malam akhir pekan atau malam minggu. Sekitar pukul 8 malam, aku baru saja kembali dari masjid tertua yang ada di Singapura. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan malam itu berjalan-jalan membelah kota Singapura.
     Sepanjang perjalananku itu, banyak bertemu dengan orang-orang yang berjalan bergandengan mesra di sepanjang sisi jalan yang kulewati. Aroma perayaan Natal pun sudah mulai tercium. Banyak pernak-pernik Natal terpasang di sepanjang jalanan kota Singapura.
     Ketika langkahku sudah mencapai Orchard Road, aku memutuskan untuk rehat di salah satu kafe 24 jam di sekitar situ. Ketika aku masuk ke dalam kafe itu, tercium aroma khas kopi yang sangat kuat. Aku melihat seorang barista sedang meracik minuman yang dibuatnya. Suasana kafe itu sedang penuh. Hampir semua meja terisi, hanya tersisa satu meja kosong yang terletak di pojok kafe itu. Aku langsung menuju meja tersebut.
     Pelayan kafe itu datang dan menanyakan apa yang kupesan dengan bahasa Inggris disertai dialek Melayu yang sangat kental. Aku menyebutkan minuman favoritku, iced French vanilla coffee. Ia mengangguk dan pergi. Aku melihat sekelilingku. Kebanyakan meja diisi oleh pasangan muda-mudi, ada pula yang berkelompok seperti ibu-ibu arisan. Hanya mejaku yang diisi satu orang, yakni diriku sendiri.
     Tak selang beberapa lama setelah pesananku datang, wanita itu masuk ke kafe ini dan menerawang seisi kafe ini dan matanya terpaku padaku. Lalu, ia mendekat dan bertanya padaku.
     “Apakah kau sedang menunggu seseorang?”
     “Tidak. Aku hanya sendiri,” Aku terkejut karena dia menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
     “Kalau begitu, bisakah aku duduk disini. Kulihat hanya meja ini yang tersisa,”
     “Oh, tentu saja. Silahkan,” aku mempersilahkan dia duduk. Dia lantas memanggil pelayan dan memesan minumannya. Entahlah, aku lupa apa yang dipesannya kala itu, namun ia juga memesan French fries untuk dimakan kita berdua.
     “Aku yang traktir, sebagai tanda terima kasih kamu telah mengizinkanku duduk disini,” katanya.
     Lalu, dia bertanya padaku segala macam tentangku sembari menjelaskan tentang dia. Sampai di sebuah pertanyaan.
     “Bagaimana dengan hubungan asmara kamu?” tanyanya.
     “Aku masih sendiri,” jawabku enteng.
     “Pernah punya pacar?”
     “Ya sekali. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengannya. Long Distance Relationship,” ujarku.
     Ada keheningan sesaat. Lalu, aku bertanya balik padanya.
     “Bagaimana denganmu?”
     Dia hanya terdiam dan memalingkan wajahnya ke arah jendela kafe. Dia hanya berkata satu kalimat.
     “Cinta selalu melewatiku begitu saja,” katanya. Lalu, dia memandangku, “Menurutmu apa cinta itu?”
     Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. Aku pun berpikir. Sebenarnya sudah ribuan kali aku ditanya seperti itu, namun aku tetap berpikir jawaban apa yang akan kuberikan padanya.
     Aku menghela nafas dan mulai berkata.
***
     Untuk mendengar tutur katanya, biarkanlah cinta mendekat.
     Tetapi saat cinta benar-benar mendekat, kita takut akan perkataannya, sebab cinta itu bebas dan tak bisa dikendalikan oleh kehendak maupun tindak-tanduk kita.
     Semua kekasih mengetahuinya, namun enggan menerimanya. Mereka pikir cinta bisa dibujuk lewat sikap mengalah, kekuasaan, kecantikan, kekayaan, air mata, dan senyuman.
     Tetapi, cinta sejati adalah cinta yang menarik kita kepadanya namun tak membiarkan kita menarik dirinya.
     Cinta mengubah, cinta juga menyembuhkan. Namun, kadangkala cinta juga menebarkan perangkap-perangkap berbahaya yang membawa kehancuran pada orang yang menyerahkan diri sepenuhnya pada cinta. Mengapa daya yang sanggup menggerakkan dunia dan menahan bintang-bintang di tempatnya bisa begitu kreatif sekaligus meluluh lantakkan?
     Kita terbiasa menganggap bahwa apa yang kita berikan sudah setimpal dengan apa yang kita terima, tetapi orang-orang yang mencintai dan mengharapkan cintanya dibalas hanya membuang-buang waktu mereka.
     Cinta adalah keyakinan, bukan pertukaran.
     Kontradiksi. Itulah yang membuat cinta bertumbuh. Konflik. Itulah yang membuat cinta tetap bertahan di samping kita.
     Hidup ini terlalu singkat, maka janganlah ucapan ‘Aku mencintaimu’ kita simpan rapat-rapat di dalam hati.
     Tetapi, jangan selalu berharap mendengar ucapan yang sama sebagai balasannya. Kita mencintai karena kita butuh mencintai. Kalau tidak, cinta kehilangan seluruh maknanya dan matahari pun berhenti bersinar.
     Aku ada sebuah kisah, sekuntum mawar memimpikan berada di tengah kawanan lebah, namun tak satu lebah pun mendatanginya. Matahari pun bertanya.
     “Tidakkah kau lelah menunggu?”
     “Ya,” sahut mawar itu, “Tetapi apabila aku menutup kelopak-kelopakku, aku akan layu dan mati.”
     Lihat, bahkan ketika cinta tak kunjung datang, kita tetap membuka diri untuk kehadirannya. Kadang-kadang, saat kesepian seperti hendak meruntuhkan segalanya, satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan terus mencintai.

Bersambung..