Between Life Principle and Love



     Mungkin agak banci ya gue nulis begini, tapi ya ga ada salahnya gue berbagi disini, ya ga ada juga sih yang baca jadi ga apa-apa. Bodo amat deh. Dan pertama-tama, sorry banget yang kebetulan baca dan merasa tersinggung dengan tulisan gue. No reason.
     Mungkin juga kalian yang kebetulan bakal baca ini bakal menganggap gue aneh, weird, freak ataupun sejenisnya karena pikiran gue yang sangat jauh berbeda dengan kebanyakan anak seumuran gue sendiri. Gue masih berumur antara 17 dan 18 tahun pada saat awal gue memikirkan ini. Tapi, jujur gue mengakui gue aneh dan kadang tidak punya tempat dimana-mana. Just like Graham Moore. Dia ketika berumur 16 tahun, dia adalah seorang yang sangat aneh dan kadang dikucilkan oleh teman-temannya, sampai dia ingin bunuh diri. Untung ga jadi bunuh diri sih. Jika kalian bertanya who is him? Dia peraih Oscar baru-baru ini di bidang Skenario Adaptasi Terbaik. Persamaannya : sama-sama aneh. Perbedaannya : gue ga pernah niat untuk ngebelah jantung gue sampai gue mati kehabisan darah. Gue masih waras, ya. Waras tapi aneh.
     Sebenarnya, ini udah menghantui otak gue selama kurang lebih 4 bulan lamanya. Ini tentang perubahan sikap yang gue terima hanya dalam kurun waktu  sekitar dua minggu. Dimana sebenernya gue terjebak dalam sebuah dilema yang berkepanjangan sampai sekarang. Jujur, gue suka sama seseorang beberapa bulan lalu, mungkin sampai saat ini. MUNGKIN. Sampai gue bela-belain ngasih cincin keramat gue yang dikasih sama seorang kakek tua yang gue juga ga tahu siapa. Cincin itu tergores nama gue, lho. Aneh ya. Makanya gue bilang keramat. Ga usah kalian nanya siapa nama cewek ga beruntung yang gue suka itu. Gue juga ga ngerti sebenarnya kenapa gue bisa suka sama dia. Yah, memang itu yang sering para sastrawan katakan, “Ga perlu mendeskripsikan kenapa kalian suka bahkan cinta sama seseorang. Hal itu ga perlu alasan.”. Yah, stop kata-kata bancinya.
     Kejadiannya sih sebenarnya mungkin simple ya di mata orang lain. Hanya untuk menentukan pilihan. Memilih satu dari dua pilihan. Oke, itu berat. Pilihan pertama, gue harus ikut something kampret called *********** dan menjadi bulan-bulanan serta kacung para tetua entah sampai kapan. Dan di sisi lain, gue ga ikut dan free menentukan jalan cerita hidup gue di kampus.
     Gue di sisi mana? Second choice. Of course. Gue lebih memilih itu, ya karena dalam pemikiran gue acara  yang gue sensor itu udah ga diperlukan lagi. Sumpah, sistem kaderisasi seperti itu udah ga dibutuhkan lagi. Serius deh. Mungkin bawaan sistem yang diturunkan sejak dahulu, dan ga ada niatan buat ngeubah itu. Mungkin ada yang niat, Cuma segelintir orang. Tapi, ga bisa terwujud. Kayaknya emang enak ngerjain junior itu dengan modus ngajarin untuk jadi agen perubahan atau sejenisnya. Walaupun gue bukan korban langsung krisis 1998, gue ga bisa berleha-leha memikirkan nasib bangsa karena yang gue tahu kalau gue tak cepat-cepat lulus dan punya prestasi, nasib masa depan gue tak akan jelas-jelas amat.
     Gue ga habis mikir, bagaimana caranya para tetua ini berpikir bahwa mahasiswa baru bisa dididik menjadi agen perubahan yang peduli pada nasib rakyat dan sebagainya sementara pola orientasinya sangat feodalistis. Oke ga usah kita bahas lebih lanjut, sebelum gue jadi buronan para tetua itu dan mungkin mi madre juga karena gue banyak bacot masalah ini disini.
     Nah, balik ke permasalahan pilihan. Pilihan yang selalu bermasalah. Tentu, gue memikirkan baik dan buruknya dua pilihan itu. But, I  prefer to the second. Tapi, dari permasalahan ini, ada permasalahan yang menurut gue lebih besar secara psikis gue. She is in the other choice. And when I told her about what my reason choose my choice, she disconnect the communication between us. Disconnected. Full disconnected. Semenjak percakapan adu mulut gue membahas itu dengan dia via telepon yang hampir membuat gue masuk koran karena kecelakaan di jalan raya, kita ga pernah ngomong lagi. Lebih tepatnya dia ga mau ngomong lagi dengan gue. Sampai detik ini.
     Yang gue pikir ini, okelah mungkin dia ga suka gue. Gue gapapa masalah itu. Udah biasa ditolak secara halus begitu. Yang secara kasar aja pernah. Tapi, yang gue ga demen ini tuh, dia mutusin komunikasi di antara kita. Itu yang paling gue ga suka itu. Udah kenal, udah deket, tapi ga ada komunikasi. Kenal tapi seperti ga kenal. Kan kampret gue dan dia nambah dosa karena ga berkomunikasi. Eh, dia doang sih, karena dia yang mutusin komunikasinya, gue sih niatannya
     Jadi, hanya karena event feodalisme ini, gue jadi putus komunikasi sama dia. Putus silaturahim sama dia. Pokoknya kayak kertas digunting jadi dua. Selesai. Tinggal nunggu aja kalo pas Idul Fitri, dia ngomong sama gue, walau cuma sebatas ya, ucapan formal Hari Raya begitu atau say hi dan nanya kabar. Kalo ngga, ya tambah numpuk deh dosanya.
     Kalo melihat kisah gue ini, gue jadi ingat salah satu lagu dari band Naif yang berjudul Air dan Api. Ada bait yang cukup menyentil di lagu itu.

Mengapa kita saling membenci
Awalnya kita selalu memberi
Apakah mungkin hati yang murni
Sudah cukup berarti
Ataukah kita belum mencoba
Memberi waktu pada logika
Jangan seperti selama ini
Hidup bagaikan...
Air dan api.

     So, what will I do? I’ll wait what she will do. Only that. Will she talk to me such as the past or the worst situation throwing me back my ring if she doesn’t want it anymore. I hope she didn’t throw away or lost that ring because she hates me at that time.
     The last but not the least, we gonna move with our own choice. Absolutely, the choice with the advantage and the loss. We take it all isn one packet. Then, respect what are people choose, because that is their way. Don’t ever insist someone to take your choice. It’s a fatal fault. Seriously. Better to let them flow with their choice or way. The last, never take the different to make you break up the connection with people that stand in the other side.
     Thanks for reading this weird post.
Regards,

Ksatria Koala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar