Antara Cinta, Kesendirian, dan Kesetiaan (1)
Kisah
yang akan kuceritakan ini adalah kisah yang kualami ketika bertemu dengan
seorang wanita di dataran Singapura beberapa tahun yang lalu.
Ketika itu, aku sedang berlibur dengan
sanak keluargaku di Singapura. Negara kota ini sangatlah ramai. Tak pernah
sepi. Malam ketika aku bertemu wanita itu kebetulan adalah malam akhir pekan
atau malam minggu. Sekitar pukul 8 malam, aku baru saja kembali dari masjid
tertua yang ada di Singapura. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan malam itu
berjalan-jalan membelah kota Singapura.
Sepanjang perjalananku itu, banyak bertemu
dengan orang-orang yang berjalan bergandengan mesra di sepanjang sisi jalan
yang kulewati. Aroma perayaan Natal pun sudah mulai tercium. Banyak
pernak-pernik Natal terpasang di sepanjang jalanan kota Singapura.
Ketika langkahku sudah mencapai Orchard
Road, aku memutuskan untuk rehat di salah satu kafe 24 jam di sekitar situ.
Ketika aku masuk ke dalam kafe itu, tercium aroma khas kopi yang sangat kuat.
Aku melihat seorang barista sedang meracik minuman yang dibuatnya. Suasana kafe
itu sedang penuh. Hampir semua meja terisi, hanya tersisa satu meja kosong yang
terletak di pojok kafe itu. Aku langsung menuju meja tersebut.
Pelayan kafe itu datang dan menanyakan apa
yang kupesan dengan bahasa Inggris disertai dialek Melayu yang sangat kental.
Aku menyebutkan minuman favoritku, iced
French vanilla coffee. Ia mengangguk dan pergi. Aku melihat sekelilingku.
Kebanyakan meja diisi oleh pasangan muda-mudi, ada pula yang berkelompok
seperti ibu-ibu arisan. Hanya mejaku yang diisi satu orang, yakni diriku
sendiri.
Tak selang beberapa lama setelah pesananku
datang, wanita itu masuk ke kafe ini dan menerawang seisi kafe ini dan matanya
terpaku padaku. Lalu, ia mendekat dan bertanya padaku.
“Apakah kau sedang menunggu seseorang?”
“Tidak. Aku hanya sendiri,” Aku terkejut
karena dia menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
“Kalau begitu, bisakah aku duduk disini.
Kulihat hanya meja ini yang tersisa,”
“Oh, tentu saja. Silahkan,” aku
mempersilahkan dia duduk. Dia lantas memanggil pelayan dan memesan minumannya.
Entahlah, aku lupa apa yang dipesannya kala itu, namun ia juga memesan French fries untuk dimakan kita berdua.
“Aku yang traktir, sebagai tanda terima
kasih kamu telah mengizinkanku duduk disini,” katanya.
Lalu, dia bertanya padaku segala macam
tentangku sembari menjelaskan tentang dia. Sampai di sebuah pertanyaan.
“Bagaimana dengan hubungan asmara kamu?”
tanyanya.
“Aku masih sendiri,” jawabku enteng.
“Pernah punya pacar?”
“Ya sekali. Tapi, aku tidak pernah bertemu
dengannya. Long Distance Relationship,”
ujarku.
Ada keheningan sesaat. Lalu, aku bertanya
balik padanya.
“Bagaimana denganmu?”
Dia hanya terdiam dan memalingkan wajahnya
ke arah jendela kafe. Dia hanya berkata satu kalimat.
“Cinta selalu melewatiku begitu saja,”
katanya. Lalu, dia memandangku, “Menurutmu apa cinta itu?”
Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. Aku
pun berpikir. Sebenarnya sudah ribuan kali aku ditanya seperti itu, namun aku
tetap berpikir jawaban apa yang akan kuberikan padanya.
Aku menghela nafas dan mulai berkata.
***
Untuk mendengar tutur katanya, biarkanlah
cinta mendekat.
Tetapi saat cinta benar-benar mendekat,
kita takut akan perkataannya, sebab cinta itu bebas dan tak bisa dikendalikan
oleh kehendak maupun tindak-tanduk kita.
Semua kekasih mengetahuinya, namun enggan
menerimanya. Mereka pikir cinta bisa dibujuk lewat sikap mengalah, kekuasaan,
kecantikan, kekayaan, air mata, dan senyuman.
Tetapi, cinta sejati adalah cinta yang
menarik kita kepadanya namun tak membiarkan kita menarik dirinya.
Cinta mengubah, cinta juga menyembuhkan.
Namun, kadangkala cinta juga menebarkan perangkap-perangkap berbahaya yang
membawa kehancuran pada orang yang
menyerahkan diri sepenuhnya pada cinta. Mengapa daya yang sanggup menggerakkan
dunia dan menahan bintang-bintang di tempatnya bisa begitu kreatif sekaligus
meluluh lantakkan?
Kita terbiasa menganggap bahwa apa yang
kita berikan sudah setimpal dengan apa yang kita terima, tetapi orang-orang
yang mencintai dan mengharapkan cintanya dibalas hanya membuang-buang waktu
mereka.
Cinta adalah keyakinan, bukan pertukaran.
Kontradiksi. Itulah yang membuat cinta
bertumbuh. Konflik. Itulah yang membuat cinta tetap bertahan di samping kita.
Hidup ini terlalu singkat, maka janganlah
ucapan ‘Aku mencintaimu’ kita simpan rapat-rapat di dalam hati.
Tetapi, jangan selalu berharap mendengar
ucapan yang sama sebagai balasannya. Kita mencintai karena kita butuh
mencintai. Kalau tidak, cinta kehilangan seluruh maknanya dan matahari pun
berhenti bersinar.
Aku ada sebuah kisah, sekuntum mawar
memimpikan berada di tengah kawanan lebah, namun tak satu lebah pun
mendatanginya. Matahari pun bertanya.
“Tidakkah kau lelah menunggu?”
“Ya,” sahut mawar itu, “Tetapi apabila aku
menutup kelopak-kelopakku, aku akan layu dan mati.”
Lihat, bahkan ketika cinta tak kunjung
datang, kita tetap membuka diri untuk kehadirannya. Kadang-kadang, saat kesepian
seperti hendak meruntuhkan segalanya, satu-satunya cara untuk bertahan adalah
dengan terus mencintai.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar