Antara Cinta, Kesendirian, dan Kesetiaan (3-End)



   “Jadi, menurutmu harus melewati kesendirian untuk mendapatkan cinta, begitu?” tanyanya setelah aku menjelaskan.
     “Tidak juga. Mungkin lebih ke memahami kesendirian. Ya, walaupun untuk memahami kesendirian, jalan yang paling bagus itu dengan merasakannya.”
     “Tapi, aku sudah merasakannya. Terus, cinta itu kapan datang? Tuhan tidak adil!”
     “Pasti ada waktunya. Kalau kau belum dapat, pasti Tuhan sudah menyiapkan  yang terbaik untuk kau. Sabar saja.”
     “Sebenarnya, ada seorang pria yang dekat denganku.”
     “Seberapa dekat?”
     “Cukup dekat. Kami bahkan sudah saling mengenalkan orang tua. Aku merasa sepertinya dia adalah jodohku. Tapi, ternyata tidak.”
     “Kenapa?”
     “Karena dia berselingkuh dengan wanita lain.”
     “Pasti temanmu.”
     “Bagaimana kau tahu?”
     Aku tertawa kecil, “Di Indonesia, paling besar presentase pasangan yang selingkuh itu selingkuh dengan temannya atau teman pasangannya. Contohnya, ada musisi di sana juga melakukannya,” dia hanya terdiam, “Makanya, kadang-kadang sinetron atau film yang dibuat disana itu, permasalahannya tidak jauh-jauh dari itu. Selingkuh,” tambahku.
     “Laki-laki itu banyak yang tidak setia!” bentaknya dengan nada yang sedikit meninggi. Aku memasang tampang poker face. Apa dia tidak sadar kalau dia sedang berbicara dengan laki-laki?
     “Sudah. Mungkin memang bukan dia jodohmu. Masih ada milyaran laki-laki selain dia, pasti Tuhan sudah menyimpan yang terbaik buat kau,” nasihatku.
     Dia langsung menatapku tajam, “Kau mau modus dan mengambil hatiku?”
     Aku tertawa, “Tidak. Aku sedang tidak minat modusin perempuan.”
     Dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Aku pun menatap jendela itu. Ternyata, hujan sedang membasahi tanah Singapura. Hujan pada bulan Desember. Orang-orang di luar berlari kecil mencari tempat berteduh. Ada juga pasangan muda yang berteduh di depan kafe ini. Sepertinya, doa para jomblo di malam minggu dikabulkan Tuhan kali ini.
     “Hei,” suara wanita di depanku membuyarkan lamunanku.
     “Kenapa?”
     “Coba kau bicara tentang kesetiaan, aku mau mendengar pendapatmu tentang kesetiaan,” ujarnya.
     Aku berpikir sejenak, “Kesetiaan itu…”
***
     Bisa diibaratkan toko yang menjual vas-vas porselen yang indah. Toko yang kuncinya diberikan pada kita oleh cinta.
     Tiap-tiap vas itu indah karena saling berbeda, sebagaimana halnya setiap orang, setiap tetes hujan, setiap batu karang yang terlelap di lereng gunung.
     Kadang-kadang, karena termakan usia atau kerusakan kecil tak terlihat, salah satu rak ambruk dan isinya berjatuhan. Lalu, si pemilik toko berkata pada dirinya sendiri, “Selama bertahuun-tahun aku mencurahkan waktu dan kasih sayangku pada koleksi vas ini. Namun, mereka mengkhianatiku dan pecah berkeping-keping.”
     Maka dia pun menjual tokonya dan pergi dari situ. Dia menjadi manusia yang pahit dan penyendiri, sebab dia merasa takkan pernah bisa memercayai siapa pun lagi.
     Memang benar, ada beberapa vas yang pecah seperti janji setia yang dilanggar. Dalam hal demikian, sapulah keeping-keping yang pecah itu dan buanglah, sebab apa yang sudah pecah takkan pernah bisa sama lagi.
     Tetapi, kadang-kadang sebuah rak ambruk dan pecah bukan semata-mata karena perbuatan manusia. Bisa jadi karena gempa bumi, invasi musuh, atau kecerobohan orang yang masuk ke dalam toko tanpa melihat kiri-kanan.
     Para lelaki dan perempuan saling menyalahkan. Kata mereka, “Harusnya ada orang yang tahu hal ini akan terjadi,” atau, ” Seandainya aku mengawasi, masalah ini tentunya bisa dihindari.”
     Padahal ini salah besar, kita semua terpenjara dalam butiran-butiran waktu, dan tidak ada kendali atasnya.
     Waktu berlalu, dan rak yang ambruk itu diperbaiki.
     Vas-vas lain berebut ingin mendapat tempat di dunia dan dipajang di sana. Pemilik toko yang baru, memahami bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Maka dia tersenyum dan berkata dalam hati, “Tragedi itu membuka peluang baru untukku dan akan kucoba memanfaatkannya sebaik mungkin. Akan kutemukan karya-karya seni yang selama ini bahkan tidak kuketahui keberadaannya.”
     Keindahan toko yang menjual vas-vas porselen itu adalah keunikan tiap-tiap vasnya, namun, ketika dipajang berdampingan, vas-vas itu memancarkann keselarasan dan mencerminkan kerja keras si pembuatnya, serta jiwa seni pelukisnya.
     Masing-masing karya seni bisa berkata dengan mudahnya, “Aku ingin diperhatikan, dan aku akan keluar dari sini.” Tapi begitu dia mencoba melakukannya, dia pun diubah menjadi tumpukan beling tak berguna.
     Seperti halnya vas-vas itu, begitu pula dengan laki-laki dan perempuan.
     Setelah memahami hal ini, barulah kita bisa duduk berdampingan dengan tetangga kita di penghujung hari, mendengarkan perkataannya dengan rasa hormat, dan menanggapi dengan ucapan yang perlu didengarnya. Dan kita tak akan mencoba memaksakan pendapat kita pada satu sama lain.
     Di atas pegunungan yang memisahkan suku-suku bangsa, di atas jarak yang memisahkan raga, ada komunitas jiwa-jiwa. Dan kita adalah bagian dari komunitas itu. Jalanan-jalanannya tidak disesaki dengan kata-kata yang asal terucap, yang ada hanyalah jalanan-jalanan lebar yang menghubungkan tempat-tempat jauh, dan sesekali mesti diperbaiki karena rusak dimakan waktu.
     Dengan demikian, kekasih yang pulang takkan pernah dipandang dengan curiga, sebab kesetiaan menemani setiap langkahnya.
***
     Aku menarik nafas panjang setelah menjawab pertanyaannya. Dia hanya terpaku melihatku.
     “Aku tidak mengerti.”
     “Tidak perlu kau mengerti. Nanti juga kau akan merasakan.”
     Lalu, hanya keheningan yang berembus diantara kita. Suasana kafe itu pun sudah mulai sepi, orang-orang sudah mulai pulang. Hujan juga sudah mulai berhenti. Aku menengok arloji di tanganku. Waktu cepat sekali berlalu.
     “Terima kasih sudah menemaniku malam ini. Jawaban-jawabanmu itu sedikit membuka pikiranku,” ujarnya.
     Anytime. Senang bisa membantu.”
     “Sepertinya, aku harus pergi. Sudah mulai larut ini,” katanya sambil berdiri dari tempat duduknya dan bersiap beranjak pergi.
     “Tunggu,” ujarku sambil menahan tangannya, “Kita sudah berbicara lama, tapi aku belum tahu namamu.”
     Dia tersenyum. “Namaku adalah…”

END.
Inspired by Paulo Coelho’s book
“Manuscrito Encontrado em Accra”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar