Tertawa

Mungkin ini adalah tulisan terserius yang saya tulis di blog selama ini. Ga akan main masalah curhat-curhatan. Saya cuma mau bahas bagaimana saya menyikapi berbagai reaksi terhadap seorang Lia Aminuddin atau di Indonesia, kita sering kenal dengan Lia Eden.

For your information, untuk yang belum tahu, what's happening. Apa lagi yang diperbuat oleh Lia Eden ini. Jadi, Ibu Lia ini mengirimkan surat kepada Gubernur Jakarta saat ini Pak Ahok dan Presiden kita Pak Jokowi untuk meminta izin agar sebuah pesawat UFO dapat diizinkan untuk mendarat di Monas dan membawanya pergi. Tidak sampai disitu, Ibu Lia juga mengatakan bahwa apabila jika dia sudah sampai di surga, beliau akan mengirimkan sebuah dokumentasi perjalanan termasuk suasana di surga.

Mungkin Anda yang membaca berita singkat diatas akan tertawa. Sama seperti kebanyakan orang lainnya yang juga tertawa setelah membaca berita itu. Namun, tak sedikit juga yang memberikan sebuah sentilan negatif kepada mereka yang menertawakan berita tersebut. Yang intinya itu tidak jauh-jauh dari, "Jangan mentang-mentang keyakinannya aneh kemudian kalian menertawakannya".

Lalu, seharusnya bagaimana? Apakah kita bisa menertawakannya?

Saya sebagai orang yang sedang belajar menjadi seorang komika atau orang yang melakukan Stand Up Comedy, saya diberi tahu sesuatu tentang tertawa.

Tertawa merupakan sebuah refleks. Entah saya lupa istilah dalam bahasa Inggrisnya.

So, untuk melarang orang tertawa itu sangat sulit memang.

Justru tugas sebagai seorang komika itu adalah mengejutkan kita dengan punchline mereka sehingga kita bisa tertawa.

Terkadang ya, kalau saya nonton di TV atau melihat seorang komika secara langsung sedang open mic (melakukan Stand Up Comedy) ketika ia melemparkan sebuah materi yang actually tabu. Sebenernya, saya enggan tertawa. Tapi mau bagaimana lagi? That's funny. Seringkali ketika setelah tertawa, saya malah bergumam sendiri, "Astaghfirullah, kenapa gua ketawa. Padahal parah banget itu".

Komika terkenal yang biasanya bikin saya merasa seperti itu adalah Yudha Keling, Beno, ataupun Dani yang sedang berkompetisi di salah satu acara kompetisi Stand Up Comedy saat ini di salah satu stasiun televisi swasta. Khusus mereka bertiga, mereka sering membuat materi dari kekurangan fisik mereka untuk membuat para penonton tertawa.

Namun, kalau kita bicara mengenai keyakinan. Apakah kita boleh menertawakan keyakinan orang lain? It depends, dude. Apakah anda bisa menerima nggak keyakinannya ditertawakan.

Misalnya saya. Saya pertama kali membaca berita diatas, saya menertawakan Lia Eden. Nyesel sih setelahnya dan kasihan pula. Lebih kasihan lagi kepada pengikutnya. But, my reflect reaction is laughing on it.

Karena, ayolah, "Saya akan menayangkan dokumentasi suasana surga yang ada di luar angkasa"? Are you kidding me?

Saya juga yakin Rasulullah juga dulu ditertawakan ketika pertama kali mengatakan hal-hal yang beliau yakini kepada orang-orang yang ada disekitarnya.

Tetapi, saya menertawakan Lia karena saya sih biasa saja kalau keyakinan saya ditertawakan. Karena itu adalah urusan yang menertawakan dengan Allah. Apapun yang mereka katakan tentang Allah, tidak akan sedikitpun akan merusak keimanan saya.

Saya pernah membaca sebuah majalah yang membahas komunitas Eden yang dibuat oleh Ibu Lia beberapa tahun yang lalu, walaupun ketika itu saya masih SMP namun agaknya saya sedikit paham.

Percaya deh, mereka pun menertawakan kita.

Seperti kita menertawakan mereka.

Sebagaimana orang atheis menertawakan orang beragama.

Sebagaimana orang yang menertawakan orang yang keyakinannya berbeda dengan miliknya.

Karena semua orang itu menertawakan orang lain. Bahkan semua tawa yang kita keluarkan itu datang dari objek lain yang lebih rendah atau lebih sial atau lebih kurang daripada kita. Serius, saya bahkan sering mengalami menjadi objek tersebut.

You can believe it or not.

Tapi, coba dipikir-pikir deh. Semua tawa itu karena ada objeknya yang kita tertawakan.

Kita tertawa terhadap Donal Duck karena dia sial atau dia marah-marah, kan? Ataupun juga, kita tertawa terhadap Spongebob dan Patrick karena kelakuan mereka yang konyol, kan? Kita tertawa terhadap anggota Srimulat karena mereka mengizinkan kita untuk menertawakan mereka bukan?

Anda mungkin tidak menertawakan keyakinan mereka. Tetapi, anda menertawakan politisi. Anda juga mungkin tidak menertawakan politisi, namun anda menertawakan artis-artis yang berkelakuan aneh di layar kaca. Atau juga, Anda tidak menertawakan artis itu, namun Anda bisa saja menertawakan teman sekolah Anda yang kakinya kecemplung di got. Untuk yang terakhir, teman SMA saya mengalami itu dan saya menertawakannya.

Jadi, kapanpun Anda tertawa, itu disebabkan karena ada objek yang ditertawakan. Nah, apakah lawakan tersebut itu menyinggung orang?

I'm sure. Pasti ada.

Untuk itu, saya tahu dua hal mengenai lawakan dan ketersinggungan. Bahasanya seperti di kalkulus dasar ya. Ketersinggungan.

Pertama.
Ketersinggungan itu tidak datang dari yang memberikan lawakan. Karena "Offense is taken, not given". Misalnya, ketika saya melawak di depan Anda, saya tidak bisa membuat Anda tersinggung. Namun, Anda sendiri yang akan memutuskan apakah anda tersinggung atau tidak.

Misalnya, ketika saya sedang melawak di depan kelas dan melemparkan sebuah joke yang sama di depan banyak orang, tentu banyak yang akan tertawa dan ada yang tersinggung. Anda bisa mencaci maki saya dengan bahasa yang kasar, apapun itu dan saya bisa saja tidak tersinggung.

Karena, ada sebuah statement yang menyatakan, "Orang minder itu mudah tersinggung". Jadi, ketika ada teman saya atau yang lainnya mendengarkan saya melucu kemudian mereka berkata, "Ah garing". Saya sih woles saja. Karena saya yakin dengan kemampuan melucu saya.

Second.
Lebih sering terjadi di Indonesia adalah orang tersinggung untuk orang lain. Contohnya, A melawak tentang B eh yang tersinggung malah D. Padahal si B nya itu menanggapinya biasa saja. Jadi, buat apa si C tersinggung? Kenapa dia marah padahal bukan dia yang dijadikan objek lawakan?

That's often happening in Indonesia.

Waktu saya sekolah dulu ataupun ketika kuliah sekarang, ada aja orang yang berseloroh seperti ini.

"MANA ORANGNYA? SIAPA DIA? TUNJUKKIN!"
"Udah ah, santai aja gua."
"GA BISA GITU. ITU ORANG UDAH KAGA BENER"
"Udah, udah. Gapapa kok"
"GA BISA. LU TEMEN GUA. ITU ORANG MESTI DIKASIH PELAJARAN"

Yang beginian ini nih, yang bakal hanya memperkeruh suasana yang padahal sebenarnya biasa aja.

Percaya deh, kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah salah satu kunci untuk hidup lebih bahagia.

To close this post, saya bakal cerita apa yang terjadi selama saya sekolah di MAN dulu. Saya sering dijadikan objek lawakan oleh teman-teman saya yang lain. Terkadang, objek lawakannya itu yang menunjukkan kekurangan saya. Kurang kurus misalnya. Ataupun juga, objek lawakannya itu saya sering dijodoh-jodohkan dengan teman perempuan saya yang lain. Padahal, ga ada apa-apa antara saya dan teman perempuan saya itu. Saya yang dijadikan bahan lawakan pun kadang ikut ngakak juga, kadang pula pasang muka bete gitu (biar dapet aja lucunya).

Namun, apakah saya tersinggung? Tidak. Malah saya merasa bahagia karena melihat teman-teman di sekitar saya itu bahagia karena tertawa. Itu juga merupakan salah satu alasan saya rindu bertemu dengan mereka, teman-teman masa SMA saya itu. Rindu tertawa bersama mereka.

Makanya saya beri tahu satu kali lagi,

Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah salah satu kunci untuk hidup lebih bahagia. Bukan cuma kita sendiri yang bahagia. Namun, orang di sekitar kita pun ikut bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar