Tampilkan postingan dengan label Cogitari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cogitari. Tampilkan semua postingan



Pernah ngga sih kalian punya cerita, kisah, masalah, atau apapun yang mengganggu pikiran kalian and you don’t have person to share with?

Gue pernah. Bahkan sampai sekarang.

Well, actually bukannya gue ngga punya orang untuk berbagi, kesannya seperti gue ngga punya teman atau keluarga. Tapi, gue seperti dalam kondisi dimana gue ngga bisa mempercayakan orang lain untuk mendengarnya. Ketika ada sesuatu yang mengganggu pikiran, gue lebih cenderung untuk memendamnya sendiri atau jika misalnya ketahuan lagi ada masalah, gue akan mengcover itu dengan cerita lain.

Kenapa gue begitu? Alasan halusnya sih, trauma. Gue pernah mengalami kejadian dimana sampai akhirnya gue berpikir bahwa ketika gue menceritakan masalah gue ke orang lain, orang itu sebenarnya ngga peduli. It means, ketika gue punya masalah dan itu mengganggu pikiran gue, dalam pikiran orang lain,

“Elah.. masalah sepele begitu dipikirin,”

Jadi, orang lain seperti memandang sebelah mata apapun yang gue pikirin. Sehingga, gue takut menceritakan apa yang gue pikirin ke orang lain. Mungkin, itu juga yang membuat gue introvert, lebih sering di rumah ketimbang nongkrong dengan orang lain, kalau jalan-jalan keluar rumah entah itu nonton di bioskop atau ke toko buku atau pergi makan lebih sering sendirian, bahkan sering banget ngomong sendiri sampai dikirain aneh oleh orang lain.

Itu juga alasan kenapa gue menulis. Karena ini satu-satunya jalan sekarang yang gue punya untuk mencurahkan apa yang ada dalam pikiran gue. Karena semakin lama gue pendam, bisa gila jadinya gue nanti. Let me tell you, beberapa post di blog ini menceritakan sesungguhnya apa yang gue rasakan, hanya saja gue desain supaya kelihatan tidak terlalu mengenaskan. Jadi, orang lain hanya melihat postingan di blog ini sebagai karya gue, bukan perasaan gue.

Raditya Dika pernah bilang di sebuah seminar kepenulisan, “Tulisan terbaik adalah yang berasal dari pengalaman sendiri,” So, this is what I do these days.

Gue lagi membuat cerita semi-fiksi. Kenapa gue bilang semi-fiksi? Karena cerita itu mengandung apa yang sebenarnya terjadi kepada gue dan gue tutupi dengan bumbu fiksi. Jadi, gue bisa mencurahkan apa yang gue pendam, dan orang lain kemungkinan mau membacanya juga meningkat. Win-win solution.

Dasar lain gue membuat cerita ini sebenarnya dari salah satu perkataan Bernard Batubara, seorang penulis. Dulu dia bilang, “How to be a good writer : 1. Love Someone ; 2. Let it breaks your heart ; 3. Write a story about your broken love ; 4. Publish it ; 5. Be happy.”

Nah, gue lagi dalam tahapan ketiga, and it’s still a long way to go untuk sampai ke tahap terakhir, be happy.

Gue rencananya mau buat long love story dan nanti dipublish ke blog ini. Ya, berhubung yang baca blog ini cuma ada tiga tipe : Ga sengaja atau lagi ngga ada kerjaan atau gue paksa, jadi gue ngga terlalu memusingkan siapa yang baca dan apa nanti yang akan terjadi setelah selesai nulis ini. Citra gue sebagai orang baperan udah terlalu melekat di mata orang lain.

Semoga dengan gue ngepost ini, gue jadi rajin menyelesaikan cerita ini.

Regards,
Weirdo Koala Knight.

Alasan

by on 5/21/2017 03:13:00 AM
Pernah ngga sih kalian punya cerita, kisah, masalah, atau apapun yang mengganggu pikiran kalian and you don’t have person to share...

Aku nggak setuju dengan konsep bahwa kita ingin menikahi orang yg bisa membuat kita bahagia. Big mistake.

Kamu harus bisa bahagia sendiri dulu. You have to be able to make yourself happy first. Karena kebahagiaan itu nggak bisa digantungkan ke orang lain. Kita sendiri yang bertanggungjawab atas kebahagiaan kita sendiri.

"Aku ingin mencari orang yg bisa membuatku merasa utuh."

No, you have to feel completed with yourself first, then you find someone.

If you’re unhappy being single and then you hope getting married will make you happy, I’m sorry to burst your bubble but that’s not gonna happen.

Kalo kamu milih nikah karena kamu nggak tahan ditanyain terus sama keluarga atau teman-teman kamu, "Kapan nikah?" Atau pertanyaan sejenisnya, itu pun nggak serta-merta bikin kamu happy.

Salahnya adalah karena niat awalnya adalah pelarian. Apapun keputusan hidup kamu kalo niatnya melarikan diri, ya susah bisa bener-bener happy.

Happy

by on 3/18/2017 03:34:00 AM
Aku nggak setuju dengan konsep bahwa kita ingin menikahi orang yg bisa membuat kita bahagia. Big mistake. Kamu harus bisa bahagia send...


A random thought before facing the weekend. This thought came up when I decided to buy a 3x3 Rubik’s cube last weekend.

Throwback dulu ke ketika gue pertama kali main Rubik. It’s around 7 or 8 years ago. Jadi, yang ngenalin Rubik ini pertama kali adalah sepupu gue yang tinggal di Bekasi. Waktu libur panjang semester, keluarga sepupu gue datang ke rumah buat berlibur. Nah, saat itulah sepupu gue mengenalkan Rubik ini. Dalam kurang lebih tiga minggu, gue diajarin sepupu gue how to solve the Rubik’s cube (dan juga diajakin main Point Blank). And I made it.

Sebulan kemudian, gue punya Rubik sendiri.

Tapi, ketika gue masuk SMA eh MAN, gue vakum main Rubik sampai dengan pekan lalu. Jadi, besides it easy to play and low cost, membeli Rubik ini membawa kenangan masa lalu.

Tapi, problem dari lama ngga pernah main Rubik adalah lupa how to solve it. Untuk solving the Rubik’s cube, ada tahapan-tahapan dan rumus-rumus yang harus dihafal untuk menyelesaikan layer by layer nya. Side by side nya. Jadi, sepanjang weekend kemarin gue cuma di kosan dan belajar buat ngesolve Rubik lagi dari awal.

Gue belajarnya dari internet. Ada situs yang menjelaskan dengan cukup jelas dan sederhana mengenai tahapan dan rumusnya. Setelah gue coba ikutin sekali dua kali, it feels totally different dengan gaya gue ngesolve Rubik dulu walaupun tahapannya masih sama. Tapi, semakin lama gue coba main Rubik setiap saat gue ada kesempatan dalam tiga hari gue semakin mendekati gaya solving gue yang dulu dan akhirnya gue memakai gaya itu sekarang. Ini seperti membuka ingatan lama gue tentang cara ngesolve Rubik.

Aneh ya.

Hanya dalam waktu tiga hari, gue bisa membuka ingatan gue dari delapan tahun yang lalu. Menurut gue sih luar biasa, mengingat banyak sekali kejadian, peristiwa, ingatan selama dalam waktu delapan tahun yang menumpuk ingatan tentang ngesolve Rubik ini.

Hal yang gue pahami tentang memori adalah seperti tumpukan kertas. Ketika kita membuat sebuah ingatan atau memori tentang sesuatu apapun itu akan diletakkan di tumpukan kertas dan akan berulang terus ketika kita membuat ingatan atau memori yang baru. Sehingga, kertas yang diletakkan pertama akan tertumpuk dengan kertas yang baru dan akan mencapai fasa dimana kertas atau memori itu akan jauh dibawah tumpukan kertas tersebut.

Fasa itu sering kita sebut dengan lupa. Batas dimana sejauh apa kita bisa mengingat memori ingatan kita. Mengesampingkan memori paten seperti nama kita atau keluarga kita, nama sekolah atau guru yang pernah mengajar kepada kita, nama buah, sayur, dan lain-lain. Semua memori itu akan seperti tumpukan kertas seperti nama orang yang pernah kita temui di masa lalu, kejadian yang pernah terjadi masa lalu, makanan apa yang kita makan dulu, soal ujian fisika yang pernah diujiankan dulu, hingga rumus Rubik yang pernah dipelajari dulu.

Tapi, satu yang gue yakini adalah kita ngga akan pernah lupa kertas-kertas itu sejauh apapun kertas itu ditumpuk. Hal yang kita butuhkan hanyalah pemicunya.

Semua memori itu buat gue ada pemicunya. Jadi, ketika kita kena atau melihat pemicunya, akan terbuka memori itu sejauh apapun memori itu tertumpuk. Mungkin berbeda untuk beberapa orang, tapi umumnya seperti itu. Pemicunya bisa dalam bentuk macam-macam. Buku, film, benda, tempat, suasana, dan lain-lain.

Gue misalnya. Bagi gue salah satu pemicu memori gue adalah film Annabelle. Alasannya? Itu film yang gue tonton pertama kali waktu gue ngedate dulu dengan seseorang. A silly choice I guess to decide a horror movie as your first date movie. Ngga surprise sih kalau ngga berhasil relationshipnya. Tapi, itu tetap sebuah memori yang pernah gue buat dan itu tertumpuk dalam tumpukan kertas gue.

Dengan pemahaman ini, gue sering bingung dengan konsep move on yang ada sekarang. Move on ini kan tujuannya untuk membuka lembaran baru. Nah, untuk mencapai tujuan itu, kita disuruh untuk melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di masa lalu. Kenangan mantan to be specific. Kan banyak tuh meme yang menyebarkan ajaran itu. Sejujurnya, kita memang ngga bisa aja buat ngelupain kenangan masa lalu selama pemicu itu masih ada dan ngga semua pemicu itu bisa dihilangkan. Bahkan, beberapa pemicu itu bersifat paten sehingga memang akan tetap terus ada. Muka mantan pun bisa jadi pemicu lho. Jadi, kalau disuruh ngelupain kenangan dengan mantan, jangan harap. Kalau ada yang bilang dia bisa melupakan kenangan dengan mantan, dia hanya mengkamuflase pemikirannya dan sesungguhnya dia ngga bisa benar-benar lupa seratus persen.

Memori itu akan tetap terus ada dan akan muncul setiap kita kena dengan pemicunya. Kalau mau melupakan kenangan, jedotin aja kepala lo sampai gegar otak lo, hilang deh itu kenangan dengan memori-memorinya sekalian.

A Stack of Paper

by on 3/11/2017 03:35:00 AM
A random thought before facing the weekend. This thought came up when I decided to buy a 3x3 Rubik’s cube last weekend . Throwb...

I love language. Because language is one of many ways to connect people around the world. English is the most used language in the world. There’s something interesting about English. English generally come from United Kingdom. In United States, they also use English as their national language. But, English UK and English US is different in some ways. Accent for example. What makes them also different are the vocabularies. Most vocabularies in English UK are simple. But, in US they change a few words to give some more explanation about that word or thing.
For example, in UK there is a word ‘pavement’ but in US they said ‘sidewalk’. So they need to know where they are gonna walk on the street, they are walking on the side of the walk so they call it ‘sidewalk’. Maybe they think when they use word ‘pavement’ in US, they’re gonna hit by the car. Another example, in UK they use word ‘bin’ but in US ‘wastepaper basket’. So they need an explanation or an instruction how to use that thing. We have to use paper, not a fresh paper but waste paper specifically and then throw it into a basket. But my favorite example is ‘horse riding’. What they in US call it? ‘horse back riding’. They need to know where they are gonna sit on the horse specifically. So, they called it ‘horse back riding’.
But, it’s the beauty of English. The beauty of language. And I love it.

Language

by on 2/03/2017 10:51:00 PM
I love language. Because language is one of many ways to connect people around the world. English is the most used language in the w...


Disclaimer : Apa yang saya tulis ini belum tentu sejalan dengan pemikiran anda. Saya hanya mengungkapkan apa yang saya pikirkan. Harap maklum.
Akhir pekan lalu seperti biasa, saya pergi ke toko buku untuk memuaskan hasrat saya terhadap buku. Melihat buku-buku buat saya adalah salah satu cara untuk menghilangkan stres. Setelah berkeliling  kurang lebih satu jam dan memilih buku untuk dibeli dan dibawa pulang, saya turun ke lantai dasar tepatnya ke kedai kopi dekat parkiran.

Di kedai itu, saya memesan caramel macchiato kesukaan saya. Setelah itu, saya duduk di salah satu kursi yang diletakkan di luar kedai. Sembari menunggu pesanan saya datang, saya mengambil buku yang saya beli sebelumnya dan membuka segel plastiknya. Beberapa menit kemudian, pesanan saya datang. Tidak lama berselang datang seorang wanita yang mencari kursi kosong karena kebetulan di meja lain sudah penuh. Dengan membawa minumannya sendiri dan sepiring berisi empat croissant, dia bertanya apakah dia bisa duduk di kursi kosong di hadapan saya. Saya mengiyakan. Dari basa-basi, saya mengetahui namanya adalah Hera (bukan nama sebenarnya) dan dia seorang ateis.

Sebelum melangkah ke pembicaraan saya dengan dia, saya akan menjelaskan dua hal yang cukup sering tertukar, dan saya mencoba untuk menjelaskan sesederhana mungkin.

Dua hal tersebut adalah ateis dan agnostik,

Ateisme adalah tidak percaya akan adanya Tuhan. Sedangkan agnostik adalah orang yang skeptis terhadap Tuhan dan tentunya agama. Tapi, tidak menepis kemungkinan adanya Tuhan. Kalau diberikan bukti yang kuat, bisa jadi dia akan mempercayai adanya Tuhan. Tanpa adanya bukti, seorang agnostik itu akan terus tetap mempertanyakan Tuhan dan agama. Singkatnya, agnostik itu tidak mau asal percaya.

Orang yang ateis tidak percaya sama sekali terhadap Tuhan. Bagi mereka, Tuhan itu tidak ada dan merupakan sebuah rekayasa umat manusia yang menginginkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Bicara soal ateis, saya jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ada pegawai negeri yang saya lupa namanya terang-terangan mengaku ateis di Facebooknya. Lalu, dia dipukuli di kantor.

Sebenarnya, saya bingung. Kenapa ada orang yang sebal, benci, bahkan sampai menganiaya orang yang ateis. Itu kan pilihan dia. Kenapa orang-orang itu harus kesal dan sampai memukul?
Rata-rata mengatakan kalau mereka itu khawatir kalau orang-orang ateis ini akan menyebarkan pemikiran mereka dan menjadikan orang lain ateis. Beberapa yang lain ada juga yang bilang, kalau orang ateis ini jangan dikasih panggung untuk bicara karena, “Masyarakat Indonesia itu masih banyak yang labil dan mudah terpengaruh.”


Yaa itu salah iman mereka yang tidak kuat, sehingga mereka bisa labil dan mudah terpengaruh. Kalau kuat imannya, maka harusnya mereka tidak perlu khawatir akan terpengaruh. Kalau khawatir anggota keluarga kita yang terpengaruh, maka fokus kita adalah dengan mempertebal keimanan keluarga kita. Bukan mukulin yang ateis.

Memang, masyarakat Indonesia itu masih harus banget belajar menyikapi perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika itu kan maknanya adalah berbeda-beda tapi tetap (ber)satu. Dalam hal ini, beda bisa dalam bentuk suku, ras, budaya, dan agama termasuk yang tidak beragama juga.

Keadaan Hera yang menjadi seorang ateis menarik saya untuk mencoba memahami. Yaa bukan buat ikut-ikutan menjadi ateis juga. Hanya mencoba memahami.

Hera sudah menjadi ateis kurang lebih empat tahun. Katanya pilihan dirinya untuk menjadi ateis berawal dari pertanyaan-pertanyaan kritisnya yang pada akhirnya mengarahkannya ke ateisme.
Lalu, saya bertanya padanya, apakah agama dan Tuhan di mata dia. Dia menjawab kalau agama adalah bagian dari sejarah ragam budaya yang ada di dunia. Tuhan di mata dia seperti sebuah rekayasa yang diciptakan manusia sendiri atas dasar dua hal. Pertama, manusia sejak dahulu cenderung memuja hal-hal yang tidak dipahami. Dahulu manusia menyembah matahari, berhala, pohon lalu kini Tuhan yang menurutnya lebih abstrak. Kedua, bahwa manusia itu menciptakan Tuhan sebagai kontrol sosial.

Lalu, saya bertanya lagi, bagaimana cara dia menyikapi permasalahan hidup dan hal-hal yang ada di luar kemampuan dia. Hera menjawab rada panjang tapi kurang lebih mengatakan bahwa yang pasti dia tidak meminta kepada sesuatu yang mengawang-awing dan bahwa semua permasalahan ada solusi yang nyata dan membumi.

Dia sempat bertanya kepada saya, apa pendapat saya terhadap orang ateis seperti dirinya. Saya menjawab, ya biasa aja karena yang ada di dalam pikiran saya, orang ateis itu biasa aja.
Saya belajar untuk melihat apapun perbedaan yang ada sebagai ragamnya umat manusia. Saya melihat orang buta, orang yang kakinya tidak sempurna, orang ateis, orang gay itu sama seperti saya melihat orang yang tinggi, orang yang pendek, orang yang rambutnya keriting atau lurus atau botak dan lain-lain. Mungkin ini pengaruh saya banyak belajar macam-macam dan pernah pergi ke tempat yang pluralitasnya tinggi (Singapura).

Buat saya, semua perbedaan itu dapat dimaklumi. Saya ngga melihatnya sebagai sesuatu yang aneh. Mungkin ini juga yang membuat Hera ini mau terbuka terhadap saya.

Saya juga menanyakan tentang kasus pegawai negeri yang dipukul itu. Menurut dia, yang menganiaya juga harusnya dijerat pasal karena sesuatu yang jelas bahwa penganiayaan adalah sebuah pelanggaran.

Saya juga sempat menanyakan kepada salah seorang lulusan hukum (setelah pertemuan dengan Hera) dan dia membenarkan bahwa yang menganiaya harusnya ditangkap dan bisa diproses secara hukum dan bahwa sebenarnya hukum di Indonesia tidak bisa menangkap orang yang atas dasar pemikirannya. Artinya, si pegawai negeri itu harusnya tidak bisa dihukum penjara atas dasar penghinaan agama.

Si pegawai negeri itu juga terjerat pasal “pemalsuan identitas” karena di KTP tertulis Islam padahal dia ateis. Bagi saya ini aneh, kan Negara tidak menerima ateisme. Gimana caranya dia mau ngaku di KTP? Apalagi sistem e-KTP sekarang yang tidak ada pilihan “Atheis” atau minimalnya seperti yang tersedia kalau kita bikin KTP biasa dulu : Kepercayaan lain. Berarti orang-orang seperti Hera ini secara teknis tidak diterima oleh Negara. Negara tidak mau mengakui adanya mereka. Sama seperti Negara tidak mengakui mereka yang berkeyakinan di luar yang diterima Negara saat ini : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Padahal seperti yang kita tahu, di Indonesia ada banyak sekali kepercayaan tradisional. Seperti di Mentawai sana punya keyakinan sejak lama yang tidak diterima oleh Negara. Mereka juga percaya akan Tuhan yang banyak. Bayangkan, masyarakat seperti ini banyak di Indonesia. Sedih lihatnya kalau negara tidak mau mengakui keberadaan mereka. Lalu mereka warga negara apa?
Hera juga menanyakan masalah Pancasila kepada saya. Dia bertanya bagaimana dengan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan konsistensinya terhadap yang Hindu yang memiliki banyak dewa dan dewi.

Saya rada berpikir keras disini. Maklum karena ini bukan bidang saya. Tapi, saya jelaskan bahwa sering banget disalahartikan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat tadi bukan berarti percaya dengan satu Tuhan. Kalimat itu menerangkan bahwa setiap orang harus punya satu buah konsep ketuhanan dalam artian harus punya agama atau kepercayaan. Kan tulisannya “Ketuhanan” bukan “Tuhan” atau “Keagamaan”. Indonesia sadar bahwa setiap orang memiliki konsep ketuhanan masing-masing dan Indonesia mau setiap masyarakatnya percaya dengan sebuah keyakinan. Itulah mengapa Hindu bisa diterima, namun itulah juga mengapa ateisme tidak diterima di Indonesia.
Ketika berbicara dengan Hera ini, saya berusaha berbicara tanpa membawa agama. Kenapa? Sederhana. Karena mereka tidak percaya agama. Seperti ada rasa percuma bawa dalil agama, kan mereka juga ngga percaya. Seperti berusaha mematikan api yang terpicu dari listrik dengan menggunakan air. Ya tidak pengaruh. Yang mesti dilakukan adalah mematikan sumber listriknya.
Tapi, saya menemukan itu susah untuk dilakukan. Orang lain juga pasti demikian. Akhirnya, saya memutuskan dengan resiko yang cukup tinggi meminta Hera untuk meyakinkan saya, bahwa Tuhan itu tidak ada.

Dia bersemangat.
Dia membuka dengan pertanyaan, “Mengapa anda beragama Islam?”

Saya paham arah pertanyaan itu, pertanyaan itu seperti berusaha menyadarkan saya bahwa agama yang saya pilih diturunkan dari orang tua saya dan kalau orang tua saya beragama Hindu kemungkinan besar agama saya Hindu, itu menandakan bahwa ngga ada iman dan keyakinan dalam pilihan saya karena itu semua semacam by default.

Saya jawab, “Karena dari saya kecil bahkan hingga sekarang saya belajar tentang Islam dan pernah membandingkan dengan agama lain, saya berpikir bahwa cara dalam Islam adalah yang paling tepat menurut saya.”

Bisa dibilang, saya melihat agama itu sebagai ragam jenis cara untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Saya bahkan percaya bahwa kita semua itu berdoa kepada Tuhan yang sama yaitu Allah SWT dan siapapun nama yang umat manusia sebut dalam doanya, yang menjawab adalah Allah SWT kalau Dia berkehendak.

Banyaknya agama adalah pilihan akan banyaknya cara berkomunikasi dan hidup atas ajaran Tuhan. Di antara semua yang ada, saya merasa bahwa Islam adalah yang paling tepat. Di muka bumi ini mungkin ada ratusan bahkan mungkin ribuan agama atau kepercayaan, walaupun ada yang menyembah batu, atau matahari atau yang lainnya, namun saya percaya sesungguhnya hanya ada satu yang mendengarkan dan kalau berkendak akan mengabulkan yaitu Allah SWT.

Hera bertanya lagi, “Apakah anda percaya Tuhan dan apa bukti keberadaan Tuhan?”
Saya jawab, “Saya percaya Allah dan saya tidak perlu bukti lain karena saya merasakan kehadiran Allah.”
“Bagaimana anda bisa tahu Tuhan itu ada, apakah anda bisa melihat dan pernah ketemu?”
“Saya tidak pernah melihat udara tapi saya bisa tahu udara itu ada.”
“Udara kan bisa dibuktikan keberadaannya dengan sains. Tuhan tidak bisa.”
“Ya itu karena sains kita belum sampai kesana atau tepatnya tidak akan sampai disana.”
“Terus buktinya apa? Masa percaya begitu saja tanpa ada bukti?” dia menanyakan ini dengan dasar dia percaya bahwa kitab suci adalah rekaan manusia.
“Terlalu sering dalam hidup saya, terjadi sesuatu yang lebih dari sekedar kebetulan. Kalaupun kebetulan, sudah terlalu kebetulan. Saya meyakinkan kalau itu bukan kebetulan dan ada campur tangan Allah.”
“Misalnya?”
“Waktu di SMA, bisa dibilang saya adalah yang paling tidak pintar seangkatan. Dan waktu ujian seleksi untuk masuk perguruan tinggi, bisa dibilang kecil kemungkinan saya buat lulus. Selama itu, saya berdoa dengan khusyuk, berserah diri, meminta kepada-Nya. Dan akhirnya saya lulus.”
“Tapi anda pasti belajar kan?”
“Yaa tentu saja. Tapi saya dulu di SMA juga belajar dengan intensitas yang kurang lebih sama, toh juga tetap di peringkat bawah dan minim prestasi bahkan tidak ada. Makanya saya bilang, it’s too much of coincidence. Dan kejadian-kejadian seperti ini banyak sekali terjadi dalam hidup saya. Karena saya merasakan kehadiran Allah.”
“Oke, anda percaya Tuhan karena doanya dikabulkan. Bagaimana dengan doa orang miskin yang kelaparan di berbagai belahan dunia ini? Apakah Tuhan tidak mau mengabulkan doa mereka? Mengapa Tuhan pilih kasih? Mengapa justru orang yang sangat membutuhkan bantuan malah tidak dikabulkan doanya, mengapa orang serperti anda (mungkin dia lihat berkecukupan) malah dikabulkan? Memangnya anda lebih baik daripada mereka?”
“Di mata saya, Allah memberikan keadaan seperti ini sebagai ujian bagi saya. Saya harusnya seperti merupakan jawaban dari doa mereka. Bahwa Allah akan menjawab doa umat-Nya lewat tangan umat-Nya yang lain. Doa orang kelaparan itu, harusnya dijawab oleh saya. Karena Allah memberi tahu saya akan keadaan mereka. Artinya kalau mereka yang kemiskinan dan hampir mati kelaparan sudah berdoa kepada Allah tapi keadaan mereka tidak berubah, maka bukan salah Allah. Tapi salah saya yang sadar akan keadaan itu tapi tidak berbuat apa-apa.”
“Oke. Terus mengapa Tuhan senang menghukum kalau memang katanya Tuhan itu Maha Baik? Mengapa harus ada hukuman? Kenapa yang salah manusia? Kan Tuhan Maha Kuasa termasuk kuasa untuk membuat manusia tidak berbuat kesalahan?”

Saya rada berpikir keras lagi disini untuk mengilustrasikannya.
“Begini. Saya menganggap Allah adalah pemimpin terhebat di muka jagad raya ini. Dari yang saya tahu, pemimpin yang baik itu tidak menyuruh anak buahnya. Tapi pemimpin yang baik itu mengkondisikan sebagaimana rupa, sehingga anak buahnya tahu apa yang benar untuk dilakukan. Anak buah tersebut akan melakukannya atas kesadaran penuh dan bukan karena keterpaksaan atau disuruh-suruh. Pemimpin yang baik akan mengungkapkan fakta sebanyak-banyaknya, memberikan pilihan seluas-luasnya dan dengan kemampuannya membuat anak buahnya sadar. Itulah yang Allah berikan kepada kita. Fakta, kejadian, kenyataan, pilihan ditunjukkan semua kepada kita. Kalau ada satu hal yang diserahkan kepada kita, itu adalah pengambilan keputusan. Sisanya ya di bawah kuasa Allah. Ambillah sebuah keputusan lalu jalankan. Kalau terasa berat, jalani saja terus karena Allah sudah berjanji tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan kita sendiri.”
“Lalu, kenapa harus ada hukuman?”
“Untuk orang yang sadar akan pilihan yang benar tapi ngga menjalaninya, maka itu bukan hukuman tapi konsekuensi. Umpamanya begini. Misalkan anda punya anak dan tentunya anda tidak mau anak anda celaka, bukan? Nah situasinya adalah kalau anak anda main sepeda dengan kecepatan tinggi dan dia bersepeda di jalan yang penuh lubang. Maka pasti anda akan menahannya lalu menerangkan apa yang akan terjadi atas kelakuannya. Anda terangkan sejelas-jelasnya, anda berikan contoh-contoh serupa, lalu anda yakin anak anda mengerti. Kemudian anak anda tetap melakukannya karena nakal dalam artian dia sadar dia salah dan tetap melakukannya. Apa yang anda lakukan? Ingat bahwa anda tidak mau anak anda itu celaka apalagi sampai meninggal. Maka pilihannya adalah menghukum anak anda biar dia jera. Hukuman itu bukan sama sekali karena kita benci tapi karena kita sangat mencintai anak kita. Toh juga setelah menghukum anak anda, anda akan tetap mencintai anak anda. Nah, itu ilustrasinya baru satu anak. Bayangkan anda adalah orang tua dari tujuh miliar anak. Bayangkan bagaimana cara memimpin dengan baik dengan jumlah segitu banyaknya. Itulah mengapa Allah adalah pemimpin yang terbaik bagi umat-Nya dan oleh kita umat-Nya tidak akan bisa dipahami. Karena banyak yang tidak paham, maka banyak yang enggan untuk menurut dan percaya.”

Setelah penjelasan panjang saya itu dia izin undur diri karena harus ke bandara untuk mengejar penerbangannya. Tak lupa dia berterima kasih atas pembicaraan yang menyenangkan tadi. Saya mempersilahkan.

Di benak orang yang tidak percaya, saya pasti tampak bodoh dan naif. Tapi, dibenak kita yang beragama, mereka yang tidak percaya Tuhan adalah bodoh dan naif. Terus kita mesti bagaimana?
Gampang. Kita harus menerima dan terbuka. Terbuka dalam artian kita mungkin tidak setuju dengan opini dan pilihan mereka, tapi kita bisa memahami bahwa perbedaan bukan hanya karena pilihan, tapi juga keadaan yang diciptakan Tuhan. Bukan urusan kita untuk membuat seisi Bumi jadi seragam.
Tugas kita adalah hidup nyaman, damai, dan bahagia dengan perbedaan tersebut. Biarlah, ada orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Tapi mari kita yang percaya akan kuasa Tuhan, yang membantu menjamin mereka pun bisa hidup dengan nyaman dan tentram bersama.

Kepercayaan

by on 11/23/2016 11:06:00 AM
Disclaimer : Apa yang saya tulis ini belum tentu sejalan dengan pemikiran anda. Saya hanya mengungkapkan apa yang saya pikirkan. Ha...