Disclaimer : Ini bukan kampanye. Hanya opini dan gagasan. Dan jangan tersinggung.

“Kalau jadi warga Jakarta, mau milih siapa?”

Itulah pertanyaan yang sering ditanyakan akhir-akhir ini kepada para warga Indonesia di luar Jakarta. Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Karena pemilihan Gubernur Jakarta tahun depan ini adalah hal yang memang menarik untuk dibahas, ngga cuma oleh orang Jakarta tapi oleh orang luar Jakarta.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kali ini diikuti oleh tiga pasangan. Ada Basuki Tjahaja Purnama yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, lalu ada Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni, dan ada Anies Baswedan yang berpasangan dengan Sandiaga Uno.

Nah, kalau saya ditanya, “Kalau jadi warga Jakarta, mau milih siapa?” Mungkin ini opini sekaligus jawaban saya.
Saya akan cenderung untuk memilih Anies Baswedan.

Saya memang mengagumi Pak Anies sejak lama. Beliau punya kepedulian yang cenderung naif terhadap Indonesia. Dalam darahnya mengalir darah pejuang yang menurun dari kakeknya, Abdurrahman Baswedan, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Pak Anies ditawari untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Beliau ngga pernah memancing-mancing jabatan tersebut, beliau juga ngga mondar-mandir berburu jabatan tersebut. Beliau ditawari.

Anies ini memang ambisius. Ambisinya, besar dan banyak sekali orang bilang naif. Anies percaya banget bahwa beliau bisa jadi bagian yang mengubah Indonesia menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Beliau percaya beliau bisa menciptakan perubahan.

Ngga banyak yang tahu, dulu beliau pernah ikut pelatihan ketua OSIS se-Indonesia dan dari ratusan ketua OSIS yang ikut, beliau yang dipilih menjadi ketua OSIS se-Indonesia. Jabatan macam apa itu? Lalu pas beliau kuliah di UGM, dia jadi ketua senat mahasiswa. Dia bahkan dulu, udah menentang Tommy Soeharto terkait kasus BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) dan ikut memimpin demo protes terhadap SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Pak Anies juga menggantikan Nurcholish Madjid menjadi rector Paramadina. Orang macam apa coba yang dipercaya menggantikan Cak Nur jadi rektor? Masih 38 tahun pula umurnya (jadi rektor termuda). Bahkan, Pak Anies membuat pelajaran anti korupsi di Paramadina lengkap dengan kurikulumnya pula. Sampai-sampai banyak orang dari universitas lain ngga cuma dari dalam negeri tapi dari luar negeri datang ke Paramadina buat belajar kurikulum itu.

Masalah korupsi, Pak Anies ditawari dan mengambil kesempatan menjadi anggota Tim 8 KPK yang meneliti kriminalisasi Bibit-Chandra dalam kasus Cicak vs Buaya. Pak Anies juga ditawari dan mengambil kesempatan menjadi Ketua Komite Etik KPK. Ditawari jadi capres via konvensi Demokrat. Sampai ditawari jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Entah kenapa, orang selalu mempercayai dia dan memberikan dia kesempatan dan kesempatan itu dia ambil.

Makanya, saya ngga kaget ketika dia ditawari jadi calon Gubernur DKI dan mengambilnya. Karena dia memang selalu seperti itu. Coba saya tanya kepada pembaca, kalau pembaca ditawari kesempatan untuk mengubah Indonesia, lalu anda tahu kalau anda mampu, anda punya kualifikasinya, apakah anda mau mengambil kesempatan itu?

Besar kemungkinan jawaban anda tidak. Seperti umumnya orang lain dengan berbagai alasannya.
Beliau memang punya ambisi di politik dan ini bukanlah hal baru. Ambisinya pun sejalan dengan cita-citanya. Dulu, bangsa kita itu mencintai politisinya. Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, itu semua adalah nama-nama politisi. Dia punya ambisi untuk mengembalikan Indonesia ke masa itu. Pengen lebih banyak orang baik dalam dunia politik dan menjadi politisi. Orang-orang seperti Ahok, Jokowi, Ridwan Kamil, Bu Risma, Ganjar Pranowo adalah contoh tren positif pada masa kini kita mulai kembali mencintai dan mengagumi politisi kita.

Saya pernah dengar Pak Anies bilang, ”Kebanyakan orang-orang baik hanya mau bayar pajak saja. Lah tapi kalau tidak ada orang baik di politik, lah terus masa uang pajak kita mau kita relakan dikelola orang jahat?”

Makanya ketika dia ditawari kesempatan baik, dia ambil karena sesuai dengan ambisinya. Menambah terus orang baik di dalam dunia politik Indonesia.

Menurut saya, ada hal baik dan tentunya buruk dari pencalonan Pak Anies jadi Gubernur ini.
Hal paling baiknya menurut saya adalah dengan munculnya Pak Anies ini (dan Agus tentunya) adalah Ahok – Anies – Agus ini menggeser nama-nama seperti Yusril Ihza, Lulung, bahkan Ahmad Dhani dan Hasnaeni Moein keluar dari bursa pencalonan Gubernur. Waktu berita isinya Yusril, Lulung sampai Ahmad Dhani mau jadi calon Gubernur, jujur saya geleng-geleng kepala mikir Jakarta kok suram begini.

Saya lebih senang, pertarungan jabatan-jabatan penting, dilakukan oleh orang-orang baik aja. Biar yang lain cuma bisa menonton. Coba dilihat, ketiga calon Gubernur yang sekarang bukan orang partai lho. Ahok udah bukan. Anies bukan. Apalagi Agus. Sehingga, konstelasinya jadi menarik : Ahok yang seorang praktisi, Anies yang seorang akademisi, dan Agus yang seorang militer.

Saya sering heran dengan perkataan orang yang bilang, “Sayang banget, orang baik diadu sama orang baik,” yah mendingan dalam semua kesempatan untuk merebut jabatan-jabatan penting negara diperebutkan oleh orang-orang baik aja. Bayangin deh, kalo stiap kesempatan menjabat menjadi pejabat publik itu diisi sama orang-orang yang baik dan juga keren, kan Indonesia jadi keren pula. Selama ini, orang-orang yang kampret ikut pencalonan karena yang baik-baik pada kaga mau.

Bayangin deh, kalo yang kampret ini ngga bisa dapat peluang buat mencalonkan diri. Pada akhirnya mereka cuma bisa berharap dan hanya numpang nama baik orang lain.
Ngomongin tentang numpang nama baik orang lain, itu ada di semua calon Gubernur kok. Ngga terkecuali.

Ahok, ditumpangi PDIP yang ketuanya ibu-ibu moody-an yang udah ngacak konstelasi politik Indonesia. Ada Hanura yang dipimpin Wiranto (punya keterkaitan dengan sebuah kasus HAM), Nasdem yang punya Surya Paloh, dan Golkar tentunya yang sekarang dipimpin Setya Novano dan sejarah sebagai partai paling besar efeknya terhadap busuknya politik sejak era Soeharto menjabat selama 32 tahun.

Anies, ditumpangi Gerindra yang punya Prabowo dengan kasus HAM yang ngga kelar-kelar dan Fadli Zon si tukang blunder serta PKS yang ada… PKSnya.

Lalu Agus yang ditumpangi Demokrat yang dipimpin bapaknya sendiri yang selama jadi presiden mengeluarkan empat album tapi pas nganggur malah sibuk ramein politik. Ada PAN yang dipertanyakan ideologinya dan hampir mirip dengan manajemen artis. PPP yang kadernya ketika jadi Menteri Agama terbukti korupsi dana penyelenggaraan haji. Dan PKB yang ssejarah buruknya terlihat paling sedikit disbanding yang lain, ada tapi ngga semegah yang lain, mungkin karena memang ngga pernah dapat kesempatan yang lebih besar aja.

Sebenarnya, masing-masing calon Gubernur itu, bawaan buruknya sama aja.

Saya kurang peduli dengan yang dibawa calon lain. Tapi Pak Anies ini nih. Punya bawaaan banyak sekali nama yang menyebalkan. Dan dia butuh teman-temannya. Kalau teman-temannya malah pergi, yang tersisa hanyalah dia, PKS, Gerindra dan Sandiaga.

Itu adalah hal yang cukup berbahaya. Teman-temannya harus sedekat mungkin dengan Pak Anies buat ngehadapin Gerindra dan PKS ini yang menurut saya seringkali berbuat blunder yang terasa menyebalkan. Contoh yang paling baru adalah ketika deklarasi pencalonan Anies-Sandiaga kemarin. Ada sesi pembacaan sebuah teks yang dianggap puisi oleh Fadli Zon yang membuat pertarungan Gubernur ini seperti perang agama. Kalau liat muka Pak Anies waktu Fadli Zon baca teks itu seolah-olah bilang, “Ini orang ngapain sih..”

‘Puisi’ Fadli Zon itu memperlihatkan bahwa dia ngga jauh beda dengan para alay fans klub bola yang kalo mendukung sebuah klub harus mencela dan merendahkan klub lain. Sementara saya dan mungkin beberapa orang lain sudah dewasa, kita bisa mendukung sesuatu tanpa harus membenci yang lain. Coba dipikir, kenapa ada barisan, “Asal bukan Madrid” atau “Asal bukan MU”? Karena umumnya fans Madrid ataupun MU itu nyebelin, kerjanya ngetawain dan ngejelekin klub lain mentang-mentang prestasi bagus. Sama halnya bisa terjadi terhadap kampanye Anies-Sandiaga nanti kalau Fadli Zon, Gerindra, dan PKS dalam kampanyenya merendahkan Ahok ataupun Agus (mostly, Ahok). Kalau Gerindra dan PKS mau menang, jangan bikin orang hilang selera orang gara-gara lihat kampanyenya yang menghina ras dan agama serta ngejatuhin orang lain. Gerindra dan PKS harus belajar itu terlebih dahulu.

Harusnya jadiin pemilihan Gubernur ini sebagai pertarungan adu gagasan, bukan ras dan agama. Ini buka pertarungan antara orang Arab vs Cina vs Jawa. Pemikiran jaman jebot banget sumpah. Ini udah tahun 2016, bro! Ini pertarungan antara orang yang kelihatan punya kinerja bagus, orang yang punya orientasi pendidikan, dan orang yang berprestasi mentereng di dunia militer.

Menurut saya, Ahok itu keren kok. Dia Gubernur yang sulit dipungkiri kinerjanya. Yang lebih keren dari Ahok adalah, kampanyenya bertumpu pada kinerja dan kebijakan. Memang sudah seharusnya begitu kalau kampanye. Minggu lalu saya ke Jakarta dan saya lihat dengan mata kepala saya sendiri banyak kali yang udah bersih dan di beberapa kali ada ekskavator yang lagi kerja.

Begini deh, kalau ngebersihin kali itu gampang, kenapa Gubernur yang dulu-dulu ngga ada yang melakukannya?

Dia juga terkenal galak terhadap bawahannya yang kerjanya ngga becus. Udah banyak contohnya.

Nah, pertanyaannya adalah, kalau saya percaya Ahok kerjanya bener, terus kenapa saya cenderung milih Pak Anies? Karena saya percaya, kita bisa menggapai hal-hal baik di Jakarta dengan cara yang lebih baik.

Menurut saya, satu-satunya kekurangan Ahok adalah caranya dalam mimpin Jakarta ini. Apalagi masalah mulutnya. Mulutnya itu seringkali jadi petaka untuk dirinya sendiri. Mulutnya itu membuat orang-orang di sekitarnya jadi sulit buat ngebelain dia. Bahkan mulutnya itu bisa membuat orang-orang baik jadi benci sama dia. Saya ngga mempermasalahkan posisinya dalam masalah pelik seperti reklamasi Jakarta dan penggusuran penduduk. Siapapun gubernurnya, bakal menginjak lumpur yang sulit seperti tadi. Tapi, cara Ahok dalam membawa dirinya di hadapan publik itu yang ngga pas buat saya.

Saya tahu ini masalah selera, teman-teman saya ada juga yang lebih suka cara Ahok yang apa adanya daripada yang sok santun. Masalahnya, saya punya keresahan yang lain yakni masalah paling besar dari Indonesia ini, persatuan.
Ahok, bakal kesulitan menjadi jembatan yang menyatukan bangsa ini dan menurut saya yang paling pas adalah Anies Baswedan.

Indonesia butuh sosok seperti Mandela. Saya ngga bilang Anies sama dengan Mandela. Yang saya bilang adalah kita butuh orang seperti Mandela. Yang sampai ditinggalkan kawan-kawannya sendiri karena memutuskan untuk berdamai dan mengajak kerjasama orang-orang yang dulu menyiksa dia dan kaumnya. Karena dia tahu yang dibutuhin negaranya adalah persatuan dan karena dia tahu persatuan lah yang akan membuat pembangunan lebih progresif.

Let me explain. Ini contoh aja ya. No offense.

Misalkan, anda benci sebuah kelompok yang udah berbuat jahat terhadap anda. Tahu ngga kenapa anda ngga pernah bisa menghilangkan rasa benci tersebut? Karena bagaimanapun anda benci dengan mereka, sbagaimanapun anda merasa mereka jahat, mereka ngga akan pernah bisa hilang. Kenapa? Karena di dalam kepala mereka itu mereka tidak merasa kalau mereka itu jahat. Mereka merasa, merekalah orang baiknya. Setiap kali anda menentang mereka, tentangan anda itu malah jadi bensin buat membakar perjuangan mereka dan mereka akan semakin yakin kalau mereka ada di jalan yang benar.

Dan umumnya, ketika anda benci terhadap seseorang atau kelompok, anda akan menghindari dialog dengan mereka, sehingga anda ngga akan pernah bisa memahami mereka. Padahal menurut saya, mencoba memahami sebelum membenci itu baik. Karena setiap kali anda mencoba memahami, at the end, anda tidak lagi membenci. Karena semua yang anda anggap ngga sejalan dengan apa yang anda pegang, akhirnya anda mendorong mereka jauh-jauh. Kalau begitu terus, kapan mau bersatu?

Mungkin pernyataan anda adalah, “Saya ngga mau bersatu dengan orang jahat,” tapi masalahnya, semua orang itu tidak pernah merasa dirinya jahat. Mungkin termasuk Prabowo ketika dia mengaku menculik mahasiswa. Beliau pasti merasa bahwa hal itu adalah hal yang paling benar untuk dilakukan demi bangsa dan negara. Saya tahu ini agak sulit dimengerti, karena mungkin anda memutuskan untuk tidak mau memahami.

Itulah prinsip yang harusnya diterapkan di Indonesia.

Itulah mengapa Indonesia butuh sebuah jembatan, dan jembatan itu yang paling cocok menurut saya adalah Pak Anies. Selain itu, menurut saya punya pemimpin seorang pendidik dan berorientasi pada pendidikan itu ideal. Bung Hatta pernah menulis, “Pemimpin adalah pendidik dan pendidik adalah pemimpin.”.

Kalau ditanya mengenai kecakapannya apa? Jadi menteri kemarin aja dipecat. Memangnya apa prestasinya pas jadi Mendikbud?

Yang saya tahu, ya. Pertama, dia membatalkan UN sebagai syarat kelulusan. Ini adalah sesuatu yang udah lama banget diperjuangkan sama aktivis pendidikan dan akhirnya tercapai pada masa Pak Anies. Kedua, menunda kurikulum 2013 kepada mayoritas sekolah dan hanya menerapkannya pada beberapa sekolah sebagai percontohan. Ketiga, menjadi menteri pertama yang melarang adanya perploncoan dan MOS di sekolah. Dalam surat edarannya, guru yang membiarkan bakal dapat hukuman. Dulu, ngga ada keterlibatan kementerian dalam masalah ini. Tahu tapi ngga bersikap, dan sekarang secara umum prakteknya udah berhenti.

Kemudian, jika kerjanya bagus, kenapa dia dipecat? Ada beberapa versi. Pertama, Pak Anies ini keliatan banget ambisinya mau jadi Presiden. Konon, kalau dia lagi kunjungan kerja seems like lagi kampanye. Yang menarik adalah ketika dia menggagas gerakan orangtua mengantar anak pada hari pertama sekolah. Gerakan ini akhirnya berdampak di lintas kementerian yang pada awalnya ngga ngeizinin pegawainya mengantar anak ke sekolah, tiba-tiba mengeluarkan surat keputusan memberi izin untuk mengantar anak ke sekolah. Ini lintas kementerian dan ngga ada koordinasi sama Presiden.

Kedua, karena jatah Menteri Pendidikan selalu jadi jatahnya Muhammadiyah. Kalau diperhatikan, dari tahun ke tahun selalu begitu dan yang ngegantiin Pak Anies ya memang dari Muhammadiyah. Memang Muhammadiyah punya kepedulian tinggi terhadap pendidikan, seperti SMA dan universitas yang sudah mereka dirikan dan jalankan. Mungkin Jokowi lelah diteriakin terus.

Ketiga, kerjanya ya memang jelek. Masalah yang sering muncul salah satunya adalah soal KIP (Kartu Indonesia Pintar) yang terhambat. Keempat, gara-gara waktu itu, Jokowi mengeluarkan instruksi buat menterinya ngga melakukan kunjungan kerja keluar Jakarta selama empat hari karena akan dilakukan sidang kabinet paripurna, dan Pak Anies ‘keluyuran’ ke Pangkep, Sulawesi Selatan buat hadir di Jumbara Nasional PMR.

Dan masih banyak versi yang ngga saya paham.

Kesimpulannya. Pertama, jika saya ditanya, “Kalau jadi warga Jakarta, mau milih siapa?” ya saya akan jawab akan milih Anies Baswedan. Kedua, saya ngga akan menghina atau menjelekkan kandidat lain terutama Ahok. Karena saya memang suka dengan kinerja dan prestasinya. Yang saya ngga suka dari Ahok adalah caranya memimpin Jakarta yang saya yakin ngga bakal bisa jadi pemersatu.

Tahu tidak apa artinya orang merdeka? Orang bisa disebut merdeka karena punya pilihan. Jangan dihilangkan pilihannya, tapi sediakanlah yang lebih baik.

Kalau Saya Jadi Warga Jakarta?

by on 9/25/2016 07:54:00 PM
Disclaimer : Ini bukan kampanye. Hanya opini dan gagasan. Dan jangan tersinggung. “Kalau jadi warga Jakarta, mau milih siapa?” ...


Now Playing : The Chainsmokers ft. Halsey - Closer

Damn, this song is good enough.

Duduk di pinggir laut, headphone di telinga tersambung ke smartphone di tangan kiri, dan sebotol penuh teh hijau di tangan kanan (let’s pretend this drink is 35-years old Glen McKenna. Best scotch ever). Cara pelarian terbaik yang bisa kupikirkan. Lari dari waktu. Lari dari memori.

Lari dari dia.

I’ll tell you a story.

It started two months ago, ketika gua tinggal sendirian di Surabaya setelah acara nikahan salah satu teman gua di Pasuruan, dan teman-teman gua udah pada pulang. Gua akhirnya memutuskan untuk nonton Now You See Me 2 di Ciputra World sendirian. Actually, the real story started after I watched that film. Abis Maghrib, gua memutuskan untuk ngopi sebentar di The Coffee Bean & Tea Leaf di dekat pintu keluar timur Ciputra World. With my favorite coffee Caramel Macchiato, I decided to sit down there and reading my new The 100-Years Old Who Climbed Out Of The Window And Disappeared book for an hour. Seriusan buku itu bagus banget dan kocak. Cuma di buku itu kalian akan menemukan Gubernur Bali bernama Alamanda Einstein. LOL. Skip.

Ketika gua lagi asyik membaca, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil nama gua.

“Bayu?” yang membuat gua respon untuk menengok. Gua melihat ada laki-laki seumuran gua berdiri di hadapan gua dengan memegang segelas kopi di tangan kanannya dan sebuah piring dengan dua buah chocolate muffin di atasnya di tangan lainnya.

Dia menangkap wajah bingung gua yang seolah berkata, “Lo siapa?”

“Lo masa ngga ingat gua? Gua Dani. Temen SD lo,” dia memperkenalkan dirinya, sedangkan gua berusaha untuk mengabsen temen-temen SD gua. Ya ada sih, salah satunya bernama Dani. Tapi ngga setinggi ini.

“Gua juga bertumbuh kali, Bay,” katanya sambil meletakkan piring yang ia pegang di atas meja di depan gua.

“Buktikan kalo lo Dani,” gua masih ngga percaya. Setelah dia menyesap kopinya, dia menceritakan tentang sebuah insiden sialan yang terjadi oleh gua dan hanya diketahui oleh teman-teman SD gua. Every detail of it. Damn.

Gua meletakkan buku gua dan menjabat tangannya.

For God’s sake, udah lama banget ngga ketemu. Gimana kabar lo?”
“Gua baik. Yah udah lama banget. Sejak lo pindah ke.. Eh, apa nama daerah tempat lo tinggal sekarang?”
“Kotamobagu.”
“Ya itu. Agak susah gua mengingatnya.”

Let’s just skip the chit-chat, seperti dia nanya, “Mana bini lo?” Damn, come on I’m nineteen, Dan. Pacar aja ngga punya. Yang pada akhirnya gua tahu kalo ternyata dia udah nikah juga. Sama seperti teman gua yang nikah beberapa hari sebelumnya. Damn, banyak banget yang udah nikah di seumuran gua. A lot of pressures.

That night, kita bercerita banyak. Mulai dari cerita nostalgia, cerita hidupnya, cerita hidup gua, bahkan ngomongin Sambel Bu Rudy yang terkenal itu. Sampai akhirnya, dia ngasih tahu gua semacam advice thing.

“Seriusan, lo ngga boleh hangout berdua doang dengan teman lo yang cewek. Apalagi kalo dia adalah teman baik lo.”

Awalnya, gua mikir bahwa dia bakal ceramahin gua dengan ayat-ayat yang sebenarnya gua juga tahu sih. Subhanallah banget. Tapi, ekspektasi gua memudar setelah dia mengatakan kalimat berikutnya.

“Karena lo bakal jatuh hati sama dia.” Kampret.

Ada hening sejenak sekitar lima detik sebelum akhirnya gua nanya. “Kenapa? Perasaan gua biasa-biasa aja kalo jalan sama temen-temen gua yang cewek. Ngga terjadi apa-apa pula.”

“Temen-temen? Plural. Lo ngga pernah kan jalan berdua doang dengan temen lo yang cewek? Berdua doang?” Gua terdiam. Kalo gua flashback kembali sih, memang iya belum pernah.

“Iya sih. Tapi sepertinya ngga apa-apa tuh. Kan udah temenan. Biasa ajalah.”

Dia tertawa, “You’ll regret it, buddy. Seriously,” ujarnya sambil meminum kopinya.

“Memangnya kenapa, ha?” tanya gua untuk memperjelas.

Tapi, sebelum kalian mendapat jawabannya. I’m gonna tell you, kenapa gua duduk di pinggir pantai ini.

A few hours ago, temen baik gua, Luna menelpon dan mengajak gua buat makan di restoran Korea yang baru buka di kota. Sekedar info, Luna ini suka banget dengan hal yang berbau Korea seperti K-Pop, K-Drama seperti kebanyakan perempuan zaman sekarang. Bahkan, gua pernah dengar kalau dia nangis seharian di kamarnya gara-gara salah satu adegan di Descendants of The Sun. Gua ngga menanyakan lebih jauh tentang hal itu.

Akhirnya, gua setuju. Setelah matahari terbenam, kita ketemu di depan restoran yang dia maksud. Pas kami masuk, suasana ala daerah Korea tersaji di dalam restoran tersebut. Mejanya, musiknya, bahkan televisi di sana menampilkan channel televisi SBS, salah satu channel TV Korea. Di sana, gua memesan jjangmyeon, dan dia memesan jjampong dan bibimbap. Jangan tanya kenapa dia makan sebanyak itu. Perempuan tidak pernah suka ditanya kenapa dia makan banyak.

Sembari menunggu pesanannya datang, Luna mulai menceritakan panjang lebar drama Korea terbaru yang sedang dia tonton dan sedang menunggu episode terbarunya buat didownload. I’ll tell you she’s an addict with this. I’ll tell you again, a man doesn’t really care about the drama that woman’s addicted about. I’ll tell you again, I didn’t care about her drama story not because the previous sentence, it’s because I’m staring at her eyes.

It kinda falling in love on weird way. Suara di pikiran gua seolah berkata, “Luna cakep juga ternyata, ya.” Dan membuat semua suasana ini menjadi awkward buat gua. Ngga buat dia karena dia ngga tahu. Karena mata gua seolah memvisualisasikan apa yang dikatakan Dani ketika gua menanyakan alasan dari advice thingnya itu.

Kembali ke Dani.

“Memangnya kenapa, ha?” tanya gua untuk memperjelas.

Dia memajukan kursi yang ia duduki. Menyandarkan tubuhnya. “Do you know, buddy? Someday, you’ll find her, whoever she is so excruciatingly attractive, and then you won’t be able to look her directly in the face.
Really?” balas gua dengan nada meremehkan.
Yeah for sure. I called it The Mermaid Theory.
Wait a minute. Mermaid? The myth?”
“Yeah! Do you know the story of the mermaid myth?” yang gua balas dengan menggeleng. “It started around 400 years ago, sailors stuck at sea would get desperate for female companionship. It got so bad that eventually, the manatees out of the water started look like beautiful women. Mermaids. The end,” dia menjelaskan.

Weird myth story. Oh ya, sekedar informasi, manatee itu sejenis lembu laut. Hampir sama seperti dugong. Google sendiri.

“Nah, sekarang lo belum tertarik sama teman baik lo yang cewek bukan karena dia itu teman baik lo. Because, she looks like a manatee now. But, you’ll see, every woman no matter how initially you feel, how initially repugnant she is, has the mermaid clock – the time it takes for you to realize you want to get her. Sure today, you see her as manatee, but she ain’t gonna stay that way,” tambahnya.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ada benarnya.

Tadi, I see Luna as mermaid. Bukan, bukan dalam arti visual yang sebenarnya. I just see her more beautiful and attractive than usual. Mungkin karena gua sama Luna ngga pernah pergi berdua saja. Selalu dengan teman-teman kami satu tongkrongan.

Looks like a manatee pada advice Dani maksudnya adalah kita ngga tertarik ketika melihat dia. Kalau gua ketika ngumpul dengan teman-teman gua apalagi ada yang cewek, ya gua bakalan mengganggap dia hanya sebatas teman baik saja. Tidak lebih dari itu. Tapi, ketika gua hanya pergi berdua dengan salah satu teman baik gua yang cewek, bisa lain cara pandang gua. Karena gua hanya terfokus pada satu orang. Dalam kasus ini, Luna.

Nah, menyambung cerita dengan Luna tadi. Akhirnya sepanjang kita menunggu pesanan, makan, dan beberapa saat setelah kita makan, Luna yang lebih sering bercerita dan gua lebih sering mendengarkan sembari beberapa kali membalas dengan satu dua kata, berusaha supaya ini ngga kelihatan awkward.
Akhirnya, setelah kita makan, kita berpisah jalan. Dia mau pergi ke toko untuk membeli beberapa barang, dan gua pergi kesini. Di pinggir pantai, dengan botol teh hijau yang tinggal setengah isinya, dan lagu Girls dari The 1975 mengalun lewat headphone.

Gua beranjak dari tempat gua duduk karena ada notifikasi grup LINE ada yang menanyakan gua dimana dan mau ke kosan gua.

Last but not the least, dear my future wife, whoever you are, wherever you are, don’t make another man feels awkward to you, cause maybe he’ll be looking at you as mermaid and falling in love with you. Sial, gua ngomong apaan sih. Halah.

Aufwiedersehen~

The Mermaid Theory

by on 9/03/2016 11:04:00 PM
Now Playing : The Chainsmokers ft. Halsey - Closer Damn, this song is good enough. Duduk di pinggir laut, headphone di teli...