Terus, mari kita bicara tentang pendidikan di Indonesia. Gua sebagai yang masih menerima pendidikan di Indonesia sebenarnya ga berhak ngomong begini tapi ga ada salahnya berpendapat, right? Begini, jahatnya pendidikan di Indonesia adalah ketika setiap anak dibuat tidak yakin kalau dia berbeda dengan anak yang lain. Ki Hajar Dewantara saja zaman dulu udah pernah bilang, “Padi tidak pernah bisa jadi jagung” harusnya padi lu treat sebagai padi dan jagung lu treat sebagai jagung. Tapi masalahnya di Indonesia, pendidikan itu harus terstandarisasi. Seperti masalah pada UN. Mau bagaimanapun si murid itu belajarnya, dia harus lulus pada standar itu. Kan ga fair ya. Ilustrasinya begini, misalkan Tarzan mau pergi dari hutan ke kota karena di hutan ga ada yang bisa dia nikahin karena semuanya buluan. Nah, sebelum dia pergi, dia bilang ke seluruh penghuni hutan bahwa siapapun bisa menggantikan dia menjadi raja di hutan asalkan persyaratannya satu. Harus teriak sekeras-kerasnya agar semua penghuni hutan bisa dengar. Kalo buat gorilla atau singa itu gampang, tapi coba kalo tapir atau rusa? Kan ga bisa. Ga fair.

Lalu, Einstein pernah bilang ke gurunya bahwa dia ga setuju dengan pendidikan dengan sistem hafalan karena itu dapat mematikan kreativitas. Habis ngomong begitu, dia langsung keluar dari sekolah itu. Coba anak zaman sekarang yang ngomong begitu? Keluar juga. Lebih tepatnya dikeluarin. But Einstein was right, dear. Pendidikan ga seharusnya memaksa untuk menghafal, pendidikan itu yang penting paham dan tau bagaimana cara pengaplikasiannya. Begini deh, buat yang cinta tim sepakbola Barcelona. Kalo disuruh menyebutkan salah satu pemain legenda Barcelona pasti bisa jawab, kan? Apakah itu ada di buku pelajaran? Ngga. Tapi bagaimana mereka bisa tau? Karena mereka minat. Jadi, seharusnya gurunya itu membuat mereka minat bukan memaksa mereka buat menghafal.

Padahal kalo lu pikir-pikir lagi, apa yang lu hafal dulu belum tentu sekarang itu bener. Misalkan, pas SD lu disuruh hafal jumlah planet di tata surya kita adalah 9 planet kan? Nah sekarang berapa planet di tata surya kita? Dua belas. Karena setelah Pluto sempat dikeluarkan dari sistem planet tata surya kita, sekarang ada klasifikasi planet baru namanya dwarf planet jadi ada empat planet baru yang dimasukkan termasuk Pluto. Total ada 12. Jadi buat apa kita capek-capek ngehafal waktu itu kalo sekarang salah?

Ngomongin masalah guru, menurut gua guru yang baik adalah ketika muridnya bener ia puji, ketika salah dibenerin, dan ketika nakal dimarahin. Paham ga bedanya? Karena walaupun ga semua guru, ada beberapa guru yang marah ketika muridnya salah. Harusnya guru itu berpikir bahwa ketika si murid salah itu adalah tanggungjawabnya buat ngebenerin. Lalu ada juga guru yang gila hormat. Walaupun memang ga semua tapi ada. Kenapa mereka gila hormat? Menurut gua karena pekerjaan guru di Indonesia belum menjadi pekerjaan yang terhormat. Kenapa gua bisa bilang begitu? Kita bisa lihat dari fasilitas dan gaji yang ia dapat. Contohnya gua pernah denger ada guru di NTT yang gajinya 50 ribu per bulan atau ada seorang guru di Purwakarta harus naik perahu melintasi Waduk Jatiluhur buat ngajar di sekolahnya itu. Hal itu ga sebanding dengan apa yang mereka kasih buat murid mereka untuk mencerdaskan generasi bangsa. Di negara lain, guru merupakan pekerjaan yang paling terhormat dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

Dan kembali ke masalah pendidikan di Indonesia ga bisa dibandingin dengan negara lain. Coba lu search negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia itu dimana. Di Finlandia. Diakui oleh 3 lembaga survei independen yang berbeda. Bahkan Obama pernah bilang ingin mengubah sistem pendidikan di Amerika menjadi seperti pendidikan di Finlandia. Dan lu tau sistem pendidikan di Finlandia itu bagaimana? Muridnya ga dikasih PR sampai SMA. Bahkan jam pelajarannya adalah yang tersedikit di dunia. Sedangkan kita di Indonesia, murid udah sekolah dari pagi sampai siang dan masih dipaksa buat les sampai sore serta masih dikasih PR pula. Kenapa di Finlandia dengan jam yang begitu sedikit bisa menjadi yang terbaik di dunia? Karena mereka ga dikasih PR dan banyak waktu untuk mengembangkan diri mereka sesuai minat mereka.

Menurut gua, bermain juga salah satu cara belajar. Kenapa? Karena bermain adalah belajar secara sukarela, iya ga sih? Menurut dokter anak, otak anak usia 5 tahun itu sedang maksimal-maksimalnya jadi biarkan mereka bermain. Misalkan, anak usia 5 tahun ngambil batu, kalo dia lempar ke kaca, dia bakal paham kalo kaca itu bakal pecah, setelah dia lempar terus dia diam, dia bakal paham kalo dia bakal dipukulin. Nanti dia pikir harusnya dia lari atau ga melempar batu itu. Kalo misalkan lu semua pelajari itu semuanya dari buku, nanti ketika di dunia profesi  bagaimana cara lu bersaing dengan orang lain kalo sama-sama yang kalian tahu itu cuma dari buku? Supaya dapat bersaing lu harus belajar di luar dari itu. Because everything in this world is a teacher, dear.

Kalo ada satu hal yang pendidikan di Indonesia berhasil adalah berhasil menciptakan generasi yang terlalu patuh. Listen. Patuh itu boleh. Kalo semuanya ga patuh, kacau nanti. Tapi kalo terlalu patuh itu bahaya. Kenapa? Kalo ga ada yang protes tentang kesalahan yang dilihat maka ga ada yang mau terciptanya perubahan. Harusnya, kita harus tampil berbeda. Namun, di sekolah diajarin bahwa beda artinya bodoh atau nakal. Akhirnya mereka tumbuh menjadi generasi yang menghindari konflik.
Masalah pendidikan lainnya adalah keharusan untuk memberikan pendidikan kepada yang harus mendapatkan pendidikan. Contohnya begini, coba pakai logika, ketika lu menyuruh orang yang ga mampu untuk milih antara pendidikan atau uang, pasti mereka akan memilih uang. Kenapa? Karena adanya kebutuhan mendesak seperti beras dan lainnya. Karena lu belanja pakai uang bukan pendidikan. Kan ga mungkin ya ketika lu belanja di pasar, lu nanya ke penjualnya,

“Berapa beras sekilo?”
“Tergantung,”
“Tergantung apa?”
“Tergantung siapakah Bapak Pendidikan di Indonesia?”

Kan ga gitu. Selain kebutuhan mendesak, uang juga dijadikan alat untuk memperlihatkan statu sosial mereka. Seperti halnya begini, orang yang kerja di rumah gua mau minjem uang ke orang tua gua dengan alasan kakaknya mau ngasih hadiah Valentine ke pacarnya tapi ga punya duit karena belum kerja. Ya sekalian aja ga usah ngasih hadiah, iya ga? Kan belum kerja. Itu sama halnya ketika ada orang minta nomor pacar temannya setelah temannya nanya buat apa dijawab pengen mesra-mesraan aja karena ga punya pacar. Ya ga usah mesra-mesraan aja sekalian. Iya ga?

After all those problems that I wrote, gua mau ngasih semacam solusi. Ada beberapa solusi yang mau ditawarin. Pertama, dan in yang paling banyak ga disukai oleh kebanyakan orang. Yakni pemahaman politik. Perlu gua jelasin bahwa kita berpolitik tapi kita ga peduli dengan politik. Maksudnya, angka keikutsertaan dalam berpolitik itu besar banget. Tapi apakah paham? Nol banget. Begini deh, coba lu flashback ketika lu ikut pemilihan caleg tahun 2014 lalu. Apakah masih ada yang ingat siapa yang lu pilih? Kebanyakan ngga. Gimana lu mau tau kalo orang itu bener dan amanah nanti ketika jadi anggota dewan kalo namanya aja lupa apalagi visi dan misinya dia. Teman gua pernah cerita bahwa ada temannya milih anggota dewan berdasarkan cakep atau ngganya foto di lembar pemilihan itu. Aneh ga? Lu sering ngomong kalo anggota dewan itu sering korup padahal mereka itu ga bakalan disana kalo bukan karena lu yang milih. Harusnya sebelum lu milih lu harus cari track record dari calon-calon tersebut. Zaman sekarang udah banyak cara dan akses untuk mencari track record mereka. Di media TV juga sering menampilkan hal-hal tersebut. But, be careful with the media. Karena banyak media sekarang yang latar belakangnya ada unsur politik. You know damn well that I’m right. Akhirnya berita-berita di media yang seharusnya menyampaikan fakta malah memberikan opini dan umumnya memakai strategi racun dan penawar begitu. Dikasih racunnya, “Pemerintahan Jokowi itu begini begitu” dan dikasih penawarnya, “Harusnya milih yang begini  begitu”. Misalkan, “Kebakaran lahan di Sumatera akibat kegagalan pemerintahan Jokowi”. Lah apa hubungannya. Harusnya media ngasih tahu kalo ada kebakaran lahan di Sumatera. Cukup sampai disitu faktanya.
Yang paling penting, kita harus tahu bagaimana membedakan fakta dan opini. Cara membedakannya gampang kok. Untuk yang tau gua, gua bilang,”Gua langsing atau ga?” Bakal ada yang bilang ya ataupun ngga. Itu adalah opini. Faktanya berat gua pernah nembus 105 kg dan berat gua sekarang 100 kg jadi menurut gua, gua langsingan. Tapi menurut lu yang beratnya ga pernah lewat dari 70 kg, lu bakalan bilang kalo gua gemuk. Tapi, apakah yang gua bilang ini pasti benar? Belum tentu. Cara memastikannya dengan mencari dari sumber lain. Jangan Cuma dari satu sumber saja. Itu baru menggunakan demokrasi yang bener. Ga cuma banyak omong.

Kedua, yakni penegakan hukum. Hukum itu harus ditegakkan. Karena ketika hukum ngga ditegakkan, orang yang berbuat kesalahan akan kembali mengulangi kesalahan atau orang lain bakal ikut-ikutan. Contoh untuk mengilustrasikannya adalah kasus Ariel. Gua setuju Ariel itu dipenjara bukan karena dia ngerekam ketika dia sedang berhubungan badan, gua bahkan setuju Ariel itu dipenjara bukan karena dia selingkuh. Tetapi berdasarkan penyelidikan Ariel terbukti memperlihatkan video itu ke temannya. Begini, ketika dia berhubungan badan dengan cewek cewek itu pasti ada persetujuan dari cewek itu kan? Ketika dia ngerekam pasti juga ada persetujuan dari cewek itu kan? Tapi, apakah ketika dia memperlihatkan ke temannya, apakah dia meminta persetujuan dari cewek itu? Ngga. Jadi Ariel ini udah melanggar kepercayaan yang itu cewek kasih ke dia. Gua punya adik cewek dan banyak teman cewek dan gua ga mau itu bakal terjadi lagi. Ariel ini kan terkenal, ketika hukum ga ditegakkan secara keras ke dia. Gua yakin orang lain bakal ikut-ikutan memamerkan kalo dia pernah ciuman atau telanjang dengan ceweknya.

Ketiga, kita harus bisa membedakan mana orang bodoh dan orang goblok. Orang bodoh bisa dimusnahin dengan pendidikan. Sedangkan, orang goblok ya harus musnah aja gitu. Dan perlu gua garisbawahi goblok ga Cuma bisa terjadi pada orang yang ga berpendidikan tapi juga ke orang berpendidikan. Goblok adalah ketika lu bersin dan buang ingus, ketika ingus itu keluar dari hidung lu, lu liat dulu baru lu buang. Itu kan goblok. Buat apa diliat coba. Lu  berharap itu apa? Emas? Jadinya untung aja lu lihat dan ga lu buang? Kan nggaa. Atau mau yang lebih parah? Coba lu search pencurian mesin ATM yang gagal, disitu bakal diperlihatkan pencurian yang goblok. Jadi si pencuri ini udah berhasil melepas mesin ATM dari dindingnya, udah berhasil masukin mesin ATM itu ke mobil, udah berhasil bawa itu ke rumahnya. Sampai di rumahnya, dia malah panic, buang barang dan piring. Karena dia tinggal di tempat yang padat penduduk jadi rumahnya mepet dengan rumah yang lain. Si tetangga denger kegaduhan itu dan lihat ada mesin ATM di rumah si pencuri, nah di telponlah polisi dan tertangkap si pencuri. Pertanyaannya, si pencuri ini udah berhasil membawa itu mesin ATM sampai di rumahnya, tapi kenapa dia malah panic dan banting piring? Ternyata mesin ATM yang dia curi adalah mesin ATM non-tunai.

Terakhir, kunci untuk memajukan bangsa ini adalah dengan memfokuskan pada SDM nya. SDM nya ini harus diberikan pendidikan yang membuat orang itu siap menyongsong masa sekarang dan masa mendatang.

Nah, udah begitu aja sih. Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari monolognya Pandji Pragiwaksono di salah satu acaranya beberapa waktu yang lalu. Ya dengan tambahan ada beberapa dari gua sendiri. Intinya ini hanya sebagai refreshing aja buat gua sebelum ujian minggu depan. Ciao.
 
Makasih buat yang udah baca.

Bangsa (2-End)

by on 12/05/2015 08:01:00 PM
Terus, mari kita bicara tentang pendidikan di Indonesia. Gua sebagai yang masih menerima pendidikan di Indonesia sebenarnya ga berhak ...


Gua kembali setelah sekian lama ga nulis. Sekarang niat banget mau nulis padahal minggu depan mau ujian semester. Ya, biarlah buat refresh dikit. Kali ini gua mau bahas tentang bangsa kita ini. Indonesia. Kita sebagai warganya of course sayang dan cinta banget dengan bangsa kita ini. Tapi, as we know di negara kita ini masih aja ada perselisihan. Entah itu antar suku, antar agama, dan lain-lain. Padahal di dasar negara kita, pada sila ketiga tepatnya ada pernyataan “Persatuan Indonesia” dan itu adalah impian gua buat Indonesia agar bersatu.

Menurut gua, kenapa Indonesia itu susah bersatu, karena adanya mayoritas dan minoritas. Gua bukan nyalahin secara jumlahnya, tapi alasannya adalah yang mayoritas belagu di depan yang minoritas dan yang minoritas merasa kerdil di depan yang mayoritas.

Sebenarnya bagaimana minoritas itu? Mari kita bicara secara statistik. Menurut BPS, ada sekitar 0.7% warga Indonesia itu difabel. Different but able. Mereka beda tapi mereka bisa. Karena pernah kita lihat ada orang yang tangannya ga sempurna tapi dia bisa membuat lukisan yang indah menggunakan kakinya. Seharusnya, mereka pun berhak berkarier selayaknya kita yang manusia normal. Tapi kenapa mereka ga bisa? Karena kurangnya fasilitas buat mereka. Contoh sederhana fasilitas itu adalah tangga. Kebanyakan fasilitas tangga di Indonesia itu hanya tangga seperti biasa yang hanya bisa dilewati oleh orang normal, dan ga ada tangga yang landai buat difabel yang memakai kursi roda.

Minoritas lainnya adalah pengusaha. Sekitar 1.56% warga Indonesia adalah pengusaha. Tapi kenapa mereka tertindas? Sebelum kesitu, gua mau kasih tau untuk ukuran menjadi negara maju minimal pengusaha di negara tersebut adalah 2 persen. Seperti di Filipina ataupun Thailand yang udah sampai 4 persen, bahkan di Singapura itu udah sampai 11% dan kita nyentuh dua persen saja tidak. So, apa yang membuat mereka tertindas? Yaitu pengusaha asing. Karena kita di Indonesia dijadiin market karena ga ada produsen. Padahal, tulang punggung negara kita adalah UKM dan kebanyakan pengusaha lokal ini adalah pengusaha kecil. Kasihan mereka akhirnya kalah bersaing dengan pengusaha asing. Dan yang paling penting, orang asing itu paham bedanya obsesi orang barat dengan orang Indonesia dalam dunia bisnis. Obsesi orang barat itu adalah ukuran sedangkan kita adalah jumlah. Contoh kecil misalnya makan. Kalo pergi ke McDonalds dan lu pesan Big Mac itu kan gede banget ya, karena itu sesuai dengan obsesi orang barat dan orang Indonesia ga minat begitu. Orang Indonesia itu cukup nasi aja, tapi banyak. Atau kalo orang barat pesan minuman biasanya menggunakan gelas besar. Orang Indonesia cukup gelas kecil saja tapi refill.

Next, 5% orang Indonesia itu keturunan Tionghoa. Walaupun mereka minoritas tapi sekarang mereka itu udah bisa mendapatkan hak-hak mereka, seperti ketika perayaan Imlek tiba-tiba banyak mall berubah menjadi Shanghai begitu. Nah, kenapa mereka bisa mendapatkan hak-hak mereka? Karena mereka itu menguasai 95% ekonomi kita. Gokil ga tuh? Walaupun, kalau kita flashback ke masa lalu ketika masa tahun ’98, bukan hanya terjadi kerusuhan, penjarahan tapi orang Tionghoa itu dipukul, dibunuh, bahkan diperkosa di pinggir jalan. Itu adalah bagian dari sejarah kelam bangsa kita dan banyak dari kita itu melupakannya.

Kaum minoritas berikutnya ini rada sensitive kalo kita bahas. Kaum Gay. Sekitar 6% orang Indonesia adalah gay atau sekitar 16 jutaan orang. Kalo dibandingkan dengan penduduk di Indonesia, satu dari 17 orang Indonesia adalah gay. Paling ga enak ketika menjadi gay adalah lingkungan Indonesia itu ga bisa menerima kaum gay tersebut. Mereka ga bisa menjadi diri mereka sendiri. Umumnya reaksi orang Indonesia terutama laki-laki itu mereka ga suka berteman dengan gay karena gay itu dosa. Kan aneh ya. Kalo alasannya begitu, harusnya dia ga berteman dengan siapapun karena siapapun pasti pernah berbuat dosa. Bedanya yang gay itu suka sesama laki-laki sedangkan yang normal suka sama perempuan. Cowok itu kadang suka bingung bagaimana cara menanggapi becandaan mereka yang ngondek begitu, takutnya ketika si cowok ketawa nanti dikira afirmatif atau dikira suka sama si gay. Padahal, itu hanya becandaannya mereka begitu. Kalo lu pernah ke Bandung, lu pasti tau GOR Saparua. Di luar GOR itu ada lapangan voli. Setiap Rabu sore, ada sekelompok waria main disana. Kalo lihat mereka main itu bawaannya pengen ketawa aja. Kenapa? Karena ketika mereka main biasa sambil teriak histeris just like women tapi ketika mereka nge-smash­ teriaknya laki banget. Menurut seharusnya, mereka itu ga dijauhin tetapi didekati, diberi penjelasan, dikasih tau jalan yang benar itu bagaimana supaya mereka jadi bener. Ketika mereka dijauhin maka mereka akan tetap begitu.

Lalu kaum minoritas berikutnya adalah perempuan. Jumlah mereka sekitar 49.66% yang berarti sekitar ratusan juta orang. Mereka banyak tapi mereka tertindas seperti halnya minoritas lainnya. Kenapa gua bisa bilang begitu? Kita lihat dari bagaimana negara kita menyikapi kasus pemerkosaan. Di negara ini, supaya tidak terjadi pemerkosaan perempuan disuruh memakai pakaian tertutup. Memang dalam agama gua, wanita itu harusnya memakai pakaian tertutup. Tapi kan yang merkosa laki. Harusnya laki-laki dibilangin, “Heh, jaga kemaluan lu itu”. Itu baru bener.  Emang pemerkosaan itu selalu karena perempuan pakai pakaian terbuka? Ngga. Coba lu googling negara dengan kasus pemerkosaan tertinggi di dunia itu dimana. Di Timur Tengah. Daerah yang banyak perempuannya pakai pakaian tertutup. Karena pemerkosaan itu terjadi bukan karena pakaian terbuka atau tertutupnya tapi karena dia terbiasa atau ngganya aja.

Dari presentase kaum perempuan itu kalo dibandingin, untuk 11 orang laki-laki ada 10 perempuan. Jadi bisa dipastiin ada satu laki-laki yang ga dapat pasangan. Jomblo. Dan menurut gua, jomblo itu juga kaum minoritas yang paling kasihan. Gua punya satu teori yang cukup ampuh. Listen. Perempuan itu butuhnya perhatian dan laki-laki itu butuhnya pengakuan. Kasih dia lebih dari yang dia dapatkan dari pasangannya, dia bakal jadi milik lu.

Perempuan itu butuhnya perhatian bukan pengakuan. Laki-laki sering salah perihal itu. Perempuan paling ga suka dikasih pengakuan dan dipuji-puji begitu. Perempuan ga nyari begitu. Hal yang basi adalah laki-laki ngomong ke perempuan, “Hei, kamu cantik deh” Halah basi. Perempuan ga suka digituin karena perempuan lebih suka dikasih perhatian. Tunjukkin bahwa lu merhatiin hal-hal kecil dari si perempuan tersebut. Begini caranya, sebut  nama dia, perhatiin dia rada lama seolah nunjukkin kalo lu merhatiin hal-hal kecil dari dia. Misal, “Gita, kamu baru potong poni ya?” atau “Gita, kamu pakai parfum baru ya?” Cewek lu gituin, hidungnya deg-degan. Kembang-kempis. Dia mau teriak tapi tertahan karena ada laki-laki didepannya.

Sebaliknya, laki-laki itu butuh pengakuan bukan perhatian. Laki-laki itu ga butuh perhatian semisal, “Kamu udah makan belum? Kamu udah tidur belum? Kamu udah sunat belum?”. Perempuan sering salah begitu. Harusnya, kamu samperin begitu dan puji aja semisal, “Kamu kalau pakai kemeja hitam lebih keliatan maskulin begitu,”. Laki-laki dibegituin mukanya Harlem Shake. Ya begitu deh.

Bangsa (1)

by on 12/04/2015 06:55:00 PM
Gua kembali setelah sekian lama ga nulis. Sekarang niat banget mau nulis padahal minggu depan mau ujian semester. Ya, biarlah buat ref...