Hati Sang Phoenix (2)
Dia
pun melanjutkan kisahnya.
“Sang
penempa itu mempersiapkan segala sesuatunya. Setidaknya, segala sesuatu yang
akan dibawanya selama menjadi manusia Phoenix abadi,”
“Tidak
abadi, hanya 500 tahun,” selaku.
“Oh,
maaf. Tapi, anda tahu sebagai manusia biasa hidup selama 500 tahun itu
terhitung abadi,” jawab kakek tua itu. Aku baru menyadari bahwa pakaian yang
dipakainya sangat terlihat tua. Bahkan, pakaiannya tersebut tidak kelihatan
modis di era 50’an. Ya, aku pernah melihat sebuah majalah fashion lama di toko
buku loak sekitar 5 blok dari sini. Di majalah itu memperlihatkan baju yang
trend di era 50’an. Dan, pakaiannya ini sungguh sangat tua. “Bolehkah saya
melanjutkan?” tanyanya dan aku mempersilahkan.
“Sang
penempa pun pergi mengelilingi belahan dunia ini untuk mencari benda kecil itu.
Sangat lama ia mencarinya. Anda pun tahu untuk mencari benda sekecil itu di
seluruh dunia ini bagaikan mencari satu jarum di timbunan jerami. Sampai
akhirnya, tepat 18 tahun lalu, aku menemukan sesuatu petunjuk tentang permata
tersebut,”.
Aku
yang sedang meminum kopiku tersedak mendengar satu kata yang diucapkannya,
“Tunggu sebentar, anda berkata ‘aku’?” tanyaku.
Dia
tersenyum, “Ya, akulah sang penempa tersebut. Berikan tanganmu,”.
“Tidak
mungkin, anda hanya mencoba menarik perrhatianku dengan ceritamu itu,” aku
berusaha bangkit dan pergi. Ketika aku baru melangkah dua kali dari tempat
dudukku, dia menahan kakiku dengan keras.
“Ini
tentang Sekar,” dia berkata. Aku melihatnya. Dia terlihat serius. Aku berbalik
dan duduk kembali.
“Apa
maksud semua ini? Dan bagaimana anda tahu tentang Sekar?”
“Inilah
alasan kenapa aku bercerita padamu. Karena anda satu-satunya yang bisa
melindunginya,” ujarnya.
“Tapi,
kenapa saya? Bukannya di dekatnya ada Putra? Dia bisa melindungi Sekar, dan
juga Sekar itu beribu-ribu kilometer dari sini,” bantahku.
“Akan
kutunjukkan. Berikan tanganmu,” dia mengulurkan tangan kirinya dan aku
meletakkan tanganku diatas telapak tangannya. Lalu, disekitar kami berubah
menjadi putih. Seputih susu. Tiba-tiba di sekeliling kami berubah menjadi
suasana rumah sakit. Aku duduk di depan sebuah pintu bersama kakek itu. Ada
kaca berbentuk persegi di pintu tersebut.
“Tengoklah
ke dalam,” perintah kakek itu padaku. Aku berdiri dan menuju pintu tersebut dan
melihat ke dalam lewat jendela tersebut dengan perasaan yang bingung.
Aku
melihat sebuah proses kelahiran. Kelahiran sebuah bayi perempuan. Namun, ada
yang tidak beres. Bayi itu seperti tidak bernyawa. Tidak seperti bayi-bayi
seperti biasanya, yang menangis ketika dilahirkan. Tetapi, bayi itu hanya diam.
Tanpa suara.
“Pada
hari ini, tepat 19 tahun yang lalu, bayi itu terlahir dengan keadaan yang tidak
cukup baik. Ia lahir dengan jantungnya yang lemah. Aku tidak tau kenapa insting
Phoenix yang ada di dalam diriku itu menarikku kesini. Aku masih bingung
melihat kejadian itu sampai bayi itu dibawa ke sebuah tabung yang tidak aku
tahu apa fungsinya,” aku mendengar penjelasannya sambil melihat bayi itu dibawa
ke sebuah tabung. Kalau tidak salah, tabung itu gunanya untuk menguatkan sang
bayi kalau terjadi apa-apa. Entahlah, aku tidak mendalami hal itu, aku hanya
melihat ada seorang bapak yang sepertinya tidak terlalu asing buatku. Dia
terlihat cemas. Kupikir, dia adalah bapak dari bayi itu. Aku juga sudah tidak
mendengar suara dari si kakek itu. Mungkin ia ingin aku melihat sendiri apa
yang ingin ia perlihatkan.
Ketika
di dalam tabung itu, tiba-tiba seberkas cahaya turun dari sebuah batu kecil
yang berwarna mencolok. Ungu. Aku kaget melihat itu. Cahaya itu masuk ke dalam
tubuh sang bayi itu. Seketika, bayi itu bercahaya dan menyilaukan pandanganku,
sampai aku sempat menutup mataku untuk menghindari silaunya cahaya itu. Setelah
cahaya itu menghilang, si bayi itu menangis dengan keras. Diikuti oleh tangis
haru oleh si bapak yang aku lihat tadi dan berteriak memanggil dokter.
Ternyata,
sang kakek itu sudah berdiri di sampingku dan memegang pundakku, “Makanya, ia
oleh bapaknya dinamakan Nurul Sekar Zhafira. Karena, ia bercahaya ketika dia
hampir meninggal di hari kelahirannya. Permata itu tertanam dalam dirinya.
Tertanam dalam jantungnya. Permata itu yang menguatkan jantungnya, sampai dia
bisa hidup hingga sekarang,” si kakek itu menjelaskan.
Aku
baru paham itu adalah Sekar. Aku melihat arlojiku yang menunjukkan angka yang
sama di kolom bulan dan tanggal. Sepuluh. Aku baru sadar hari ini, hari ulang
tahun Sekar yang ke sembilan belas. Dan, yang baru kuketahui bahwa Sekar sempat
memiliki kelainan seperti itu. Yah, tertutup dengan kelakuan aktifnya, sih.
Aktif ketika masih kuliah bersama sebelum akhirnya aku pindah ke London tahun
lalu. Aktif ketika membawa motornya yang dilengkapi dengan helm berwarna merah
dan hitam bercorak seperti kulit harimau, seolah mewakilkan sifatnya yang
sedikit garang dan kadang memukul orang lain kalau sedang kesal. Termasuk aku.
Tidak kusangka dia pernah memiliki kelainan seperti itu, atau mungkin masih.
Si
kakek itu mengembalikan suasana di sekitar kami kembali menjadi suasana di kafe
sebelumnya. Namun, sekarang berbeda sudah tidak ada orang lagi di dalam kafe,
bahkan sang barista dan pelayannya tak kelihatan. Hanya kami berdua.
“Untuk
alasan itulah, mengapa aku membicarakan hal itu denganmu, aku ingin memintamu
untuk melindunginya,” sang kakek itu berkata padaku. Masih terbayang apa yang
kulihat tadi. Sekar.
“Saya
masih bingung dengan semua ini, kenapa saya? Melindungi dia dari apa?”
“Kau
ada bakat seorang Phoenix. Bakat yang sangat langka. Apabila aku mentransfer
kekuatanku ini padamu nanti, kau takkan merasakan sakit dan terbakar sepertiku hampir
500 tahun yang lalu,” suaranya tercekat sesaat dan ia terbatuk-batuk.
“Anda
tidak apa-apa?” tanyaku.
“Tak
apa. Kau harus melindunginya dari penyihir angin hitam. Dia menginginkan
permata itu untuk menguasai dunia dan menantang para dewa. Dengan permata itu
di tangannya, dia bisa melakukan apa saja. Bahkan, untuk menghancurkan dunia
ini, ia sanggup,” ucapnya dengan muka memerah seperti menahan amarah.
“Dia
juga sama sulitnya menemukan batu permata itu. Sama sepertiku. Bahkan dia
dibantu oleh bawahan-bawahannya yang setia. Dia juga menyadari bahwa permata
itu masuk ke dalam jantung Sekar. Dia berencana mengambil permata itu pada saat
permata itu memancarkan kekuatan terkuatnya,” tambahnya.
“Kapan
itu?”
“Tepat
dua puluh tahun setelah permata itu masuk ke dalam jantung Sekar,”
“Itu
berarti…,”
“Ya,
setahun dari sekarang, permata itu akan menjadi waktu yang tepat untuk diambil
oleh penyihir itu,”
“Jadi,
apa yang bisa kulakukan untuk melindunginya?”
“Akan
kutransfer kekuatan Phoenix yang ada di dalam diriku padamu, dan aku akan
melatihmu untuk menggunakan kekuatan itu,” dia menatapku dengan serius.
“Melatihku?
Kau tidak akan memudar ketika mentransfer kekuatan itu?”
“Tidak.
Batasku masih bisa sampai setahun kedepan. Dalam waktu setahun itu, aku akan
melatihmu dengan keras,”
Dahiku
mengerut masih tidak percaya, “So, bagaimana kau akan mentransfer kekuatan itu
padaku? Kau tidak akan menciumku, kan?”
Dia
tertawa kecil, “Hidupku selama hampir 500 tahun lebih ini takkan mengubah
kekagumanku pada wanita. Aku masih normal,” dia lalu menggeleng, “Angkat kedua
tinjumu, satukan dengan tinjuku,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya di
hadapanku. Aku pun mengangkat kedua tinjuku.
Kekuatannya
pun mulai bertransfer. Selubung api yang awalnya keluar dan menyelimuti si
kakek berpindah menuju padaku melewati kedua tinju kami dan berpindah padaku.
Awalnya selubung api hanya berputar mengitari seluruh tubuhku, namun tiba-tiba
api itu menyeruak masuk ke dalam tubuhku dari seluruh penjuru tubuhku. Masuk
melewati pori-pori kulit tubuhku. Api itu bergerak masuk menuju ke satu arah.
Jantungku. Api itu telah menyegel diriku. Tanda segel berwarna hitam pun tergores dengan indah di
lengan kanan atasku.
Namun,
anehnya aku tidak merasakan sakit sama sekali seperti yang diceritakan oleh
kakek itu atau yang lebih tepatnya yang dirasakan oleh kakek itu kala ia
menerima kekuatan ini.
Setelah
transfer kekuatan itu selesai, sang kakek hanya tersenyum tipis.
“Pilihanku
memang tepat, lambang burung Phoenix yang sesungguhnya ada di tanganmu itu
mencirikan bahwa kau adalah orang yang tepat untuk mendapatkan kekuatan ini,”
ujar kakek itu.
“Mengapa
begitu?” tanyaku.
“Kekuatan
Phoenix ini tidak akan menyakiti manusia yang tepat. Manusia Phoenix. Pewaris
darah burung Phoenix, ini berarti di dalam pembuluh darahmu terdapat darah
Phoenix,” jelas si kakek dan aku hanya mengangguk tanda paham alasan tersebut.
Aku
memperhatikan tubuhku, tidak ada yang jauh berbeda dari sebelumnya. Tapi, aku
merasakan hawa panas membara di dalam tubuhku. Aku merasa seperti Manusia Api
dalam Fantastic Four. Tapi, aku berbeda
Aku
adalah titisan burung Phoenix. Adrian Adrisam Reynand adalah seorang manusia
Phoenix. Aku berteriak dalam hati dan masih dalam keadaan tidak percaya dengan
semua ini.
“Lalu,
apakah aku akan hidup abadi selama lima ratus tahun sepertimu?” tanyaku.
“Entahlah.
Karena dalam hal ini, kau adalah manusia Phoenix yang sebenarnya, mungkin kau
akan hidup abadi lebih dari lima ratus tahun bahkan mungkin selamanya,”
jawabnya seraya mengusap jenggot putihnya yang memanjang sesaat setelah
pemindahan kekuatan itu. “Namun, ada satu hal yang bisa membunuhmu dan mati
begitu saja,” tambahnya.
Aku
terkejut, “Apa itu?” aku bertanya padanya.
“Jangan
pernah biarkan seseorang atau apapun menusuk jantungmu. Tepat di bagian segel
api itu bernaung. Itu satu-satunya cara memutus keabadian dari Phoenix,”
ujarnya dengan wajah serius.
Aku
menelan ludah mendengar jawabannya itu. “Tapi, kau akan melatihku, kan?”
“Lebih
tepatnya oleh dua orang lain yang juga memiliki kekuatan mengagumkan sama
sepertimu. Titisan Naga Kuning, Huang Long dan titisan makhluk terganas
samudra, Leviathan. Bergurulah pada mereka masing-masing 5 bulan. Merekalah
yang akan melatihmu,” ujar si Kakek.
“Dimana
aku bisa menemukan mereka berdua?”
“Entahlah,
insting Phoenix mu itu yang akan menuntunmu ke mereka. Kuberitahu, elemen Huang
Long adalah tanah dan Leviathan adalah air. Gunakanlah petunjuk itu,”
“Tunggu
sebentar, kenapa tidak ada elemen angin?”
“Itu
adalah elemen yang digunakan oleh sang penyihir,” jawab singkat si kakek.
“Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu. Ingat, gunakan sebaik-baiknya kekuatanmu
itu, berlatihlah dengan sungguh-sungguh pada mereka, selamatkan aku dan wanita
itu dari dunia bawah, dan juga selamatkan Sekar,” tambahnya.
“Tunggu,
kau akan pergi sekarang? Bukannya kau bilang kau masih ada waktu setahun lagi?”
tanyaku dengan heran.
Kakek
itu tersenyum kecil, ”Aku bohong padamu. Supaya kau mau menerima kekuatan itu,”
katanya.
Lalu,
ia melambaikan tangannya padaku, dan seluruh tubuhnya berubah menjadi arang api
kemudian retak menjadi abu dan terhisap ke dalam tanah.
Aku
masih dengan tatapan tidak menyangka dengan menghilangnya kakek itu, tiba-tiba
aku dicolek sesuatu.
“Pak,
mohon maaf, kedai ini akan tutup. Mohon bapak silahkan keluar dan membayar
billnya,” seorang pelayan berkata padaku dengan aksen Inggris yang kental. Aku
sepertinya tertidur tadi. Seisi kedai itu sudah kosong. Jangan-jangan tadi
hanya mimpi?
Aku
menggulung lengan baju kananku, ternyata lambang segel itu ada.
“Wah,
tato yang bagus, pak. Tapi, mohon anda cepat karena kedai ini akan tutup,”
Aku
menggulung balik lengan bajuku dan tersenyum kecil pada pelayan itu dan
mengeluarkan beberapa pounds di meja sesuai bill. Lalu, beranjak pergi dari
kedai tersebut.
Sepertinya,
aku harus memesan tiket pesawat ke Indonesia dalam waktu dekat ini.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar