Hati Sang Phoenix (Part 1)
Aku
sedang duduk sendirian di sebuah kafe bernama Prufrock Coffee yang berada di
pusat kota London, menikmati malam akhir pekan setelah seminggu penuh melakukan
penelitian bidang mekanika kuantum di laboratorium yang ada di London. Setelah
berjuang keras melakukannya tidak ada salahnya, kan untuk beristirahat sejenak
dengan kesendirian. Memang di akhir pekan ini, Jane, salah seorang temanku
selama di London mengajakku untuk menghabiskan malam akhir pekan di salah satu
bar yang sedang mengadakan weekend party.
Tapi, langsung kutolak dengan halus karena pasti akan berhubungan minuman
beralkohol. Selain itu, aku lebih ingin menghabiskan malam ini sendirian.
Sebenarnya, ada niatanku untuk mengunjungi
salah seorang kenalanku yang berada di Manchester. Namun, kuurungkan niatanku
itu karena pasti dia akan mengajakku untuk menonton Derby Manchester di Old
Trafford besoknya. Aku tidak tertarik kepada dua klub tersebut. I prefer to watch Real Madrid in Santiago
Bernabeu Stadium. Tapi, itu sangat jauh dari sini.
Ya, sendiri. Hanya ditemani oleh segelas
penuh kopi espresso berharga 2.20
pounds. Namun, kesendirianku ini terusik karena seorang kakek tua datang
kepadaku membawa segelas kopi. Dari aromanya, aku menaksir itu adalah kopi Americano.
“Bolehkah saya duduk disini? Kelihatannya
anda sedang sendiri,” kakek itu berkata. Aku mengira-ngira dia berumur sekitar
60 tahun, dengan kemeja bermotif kotak biru garis putih dipadu dengan celana
hitam dan juga topi khas koboi.
“Tentu saja, silahkan,” aku mempersilahkan
dia duduk dan disambut dengan anggukan halus olehnya. Dia pun duduk di depanku
dan melepaskan topi nya. Ada keheningan sesaat diantara kami sampai ketika ia
menyeruput kopinya yang masih mengepulkan uap panas dan bertanya kepadaku.
“Anda tahu burung Phoenix, tuan?”
Aku sedikit terkejut ketika ia menanyakan
itu.
“Ya, saya pernah mendengar makhluk mitologi
itu,” jawabku.
“Mungkin setelah anda mendengar cerita saya
ini, anda akan berpikir dua kali bahwa Phoenix adalah mitos belaka. Percayalah,
burung itu bukanlah sebuah mitos.”
Aku terdiam sejenak. Lalu, menaruh minat
untuk mendengarkan ceritanya tersebut. “Silahkan, tuan. Saya ingin mendengarkan
cerita itu.”
Dia pun mulai berkisah.
***
Alkisah, di sebuah tempat yang tidak
diketahui nama dan lokasinya, hiduplah seorang laki-laki penempa pedang yang
hidup dengan damai bersama istrinya. Mereka belum memiliki seorang anak dari
pernikahan mereka yang sudah menginjak satu dekade.
Tempat mereka tinggalpun hanyalah sebuah
gubuk besar yang dilengkapi tempat sang laki-laki menempa pedang-pedang
buatannya. Walaupun mereka hidup sederhana dan jauh dari kata berkecukupan,
mereka hidup dengan tenang, meski mereka kekurangan sesuatu yang sangat
berharga bagi mereka. Anak. Sampai suatu ketika, istrinya meninggal dunia
karena sakit keras yang diidapnya. Sang penempa sangat sedih ditinggalkan orang
yang sangat dicintainya.
Suatu hari, sang penempa tersebut sedang
mengerjakan pedang seperti biasanya, sampai suatu ketika dia terkena panasnya
api yang digunakannya untuk memanaskan pedang buatannya. Api tersebut menjalar
ke tangannya sehingga menyebabkan tangan sang penempa tersebut mengalami luka bakar yang sangat serius.
Tangannya menjadi mati rasa dan tidak bisa digerakkan. Tidak ada yang bisa
menolongnya saat itu.
Dia menjerit kesakitan, menahan sakit yang
ada di tangannya. Sampai akhirnya, datang seorang perempuan cantik jelita,
bergaun warna merah darah. Wanita itu datang menghampiri sang penempa dan
memegang tangannya yang terluka. Lalu, wanita itu menitikkan beberapa tetes air
matanya diatas luka tersebut, dan secara ajaib luka bakar tersebut tertutupi
oleh regenerasi kulitnya sendiri, dan sembuh seperti sedia kala.
Sang penempa yang terheran-heran dengan apa
yang dilihatnya, langsung bertanya kepada wanita itu.
“Terima kasih, wahai wanita yang cantik. Kau
telah menyembuhkanku dengan air matamu itu. Siapakah dirimu?”
“Aku adalah Phoenix.”
“Phoenix?” sang penempa heran dengan jawaban
wanita tersebut. “Apa maksudmu?”
“Ya, aku adalah Phoenix. Sebenarnya, aku
adalah manusia biasa sama sepertimu. Namun, aku diberikan kekuatan khusus oleh
para dewa, yakni menjadi penjelmaan seekor burung api abadi, Phoenix. Aku
ditugaskan khusus untuk mencari permata ungu milik para dewa yang hilang.”
“Permata ungu? Benda apa itu?”
“Permata itu adalah benda milik para dewa
yang berguna untuk menjaga keseimbangan dunia ini.”
Sang penempa masih terheran dengan penjelasan
wanita itu. Penjelasan yang menurutnya sangat tidak masuk di akal sehatnya.
“Lalu, kau sudah menemukan permata
tersebut?”
Wanita itu menunduk. “Belum. Dan batasnya
adalah hari ini ketika matahari terbenam,” ketika wanita tersebut berkata
seperti itu, langit sudah berwarna jingga menyala tanda matahari akan
tenggelam. “Aku akan dihukum dijatuhkan ke dunia bawah selamanya, jika tidak
bisa mendapatkan permata itu.” Dunia bawah adalah neraka.
“Lalu, apa yang bisa kubantu?” tanya sang
penempa.
“Lanjutkan pencarianku. Kau bisa
mengeluarkanku dari dunia bawah jika kau bisa menemukan permata itu,” ujar sang
wanita.
“Bagaimana caranya? Aku tidak tahu-menahu
masalah permata itu,”
“Aku akan memberikan kekuatan Phoenix ku.
Kekuatan itu akan membantumu untuk menemukan permata itu. Aku tidak bisa
menemukannya, karena sangat sulit mendeteksinya,”.
“Bagaimana caranya kau membagi kekuatanmu
itu?”
Tiba-tiba, wanita itu langsung mencium sang
penempa. Sesaat kemudian, api keluar dari tubuh sang wanita dan menyeruak masuk
ke dalam tubuh sang penempa. Sang penempa seperti terbakar namun tidak hangus.
Di punggungnya pun muncul sepasang sayap yang menyala karena api yang menyelimutinya. Wanita itu pun
melepaskan sang penempa dan melihat api masih membakar tubuh sang penempa, dan
lambat laun bergerak masuk ke dalam tubuh sang penempa. Sepasang sayapnya pun
bergerak masuk ke dalam punggungnya. Sang penempa itu pun terduduk dengan nafas
tersengal-sengal. Peluh keringatnya keluar. Dia masih merasa terbakar, namun
rasanya terbakar dari dalam.
“Apa akan selalu terasa sakit begini?” tanya
sang penempa sambil memegang dadanya.
“Memang awalnya masih terasa sakit,
lama-kelamaan juga akan hilang sakitnya, api itu akan menuju ke jantungmu, dan
akan menjadi segelmu. Segel itu akan menjadi tanda bahwa kau akan dijatuhkan ke
neraka setelah 500 tahun dari segel itu terpasang. Sama seperti aku,” ujar sang
wanita sembari dia memperlihatkan tanda segelnya yang berada di punggung
lehernya.
Sesaat kemudian, muncul tanda segel yang
berwarna hitam di pundak kirinya. Sejenak, tanda segel itu menyala dan redup
kembali menjadi hitam gelap.
“Tanda itu akan hilang dan juga kau akan
terbebas dari dunia bawah ketika permata itu kembali ke tangan para dewa. Jadi,
kumohon. Selamatkan aku,” ujar sang wanita memohon kepada sang penempa.
“Temukan permata itu sebelum para bawahan penyihir hitam mendapatkannya terlebih
dahulu,” tambahnya. Tubuh sang wanita itu mulai memudar.
“Aku akan mencobanya,” ujar sang penempa.
“Akan kucoba menemukan permata ungu tersebut. Akan kubebaskan kau dari dunia
bawah. Aku berjanji,” sang penempa memegang tangan wanita tersebut. Wanita itu
pun lenyap bagai ditelan matahari tenggelam.
Wanita itu pun tenggelam ke dunia bawah.
Tempatnya menetap menunggu janji sang penempa. Di neraka.
***
Kakek itu berhenti sejenak dan meminum
kopinya. Aku mendengar cerita kakek tua itu. Masih dengan tatapan bingung.
Mungkin sama dengan tatapan bingung sang penempa ketika mendengar penjelasan
awal dari wanita dalam kisah tersebut.
“Jadi, anda akan mencoba membuat saya
percaya dengan kisah itu? Sejujurnya, saya bukan orang yang gampang percaya
terhadap sesuatu tanpa adanya suatu bukti yang nyata,” aku meragukan apa yang
dia katakan sebelumnya.
“Kisah itu belum selesai. Sama sekali belum usai,” kakek
itu menjawab. “Saya berjanji di akhir pertemuan kita ini, anda akan terkejut,”
tambahnya dengan senyum tipis.Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar