Pernah ngga sih kalian punya cerita, kisah, masalah,
atau apapun yang mengganggu pikiran kalian and
you don’t have person to share with?
Gue pernah. Bahkan sampai sekarang.
Well, actually
bukannya gue ngga punya orang untuk berbagi, kesannya seperti gue ngga punya
teman atau keluarga. Tapi, gue seperti dalam kondisi dimana gue ngga bisa
mempercayakan orang lain untuk mendengarnya. Ketika ada sesuatu yang mengganggu
pikiran, gue lebih cenderung untuk memendamnya sendiri atau jika misalnya ketahuan
lagi ada masalah, gue akan mengcover
itu dengan cerita lain.
Kenapa gue begitu? Alasan halusnya sih, trauma. Gue
pernah mengalami kejadian dimana sampai akhirnya gue berpikir bahwa ketika gue
menceritakan masalah gue ke orang lain, orang itu sebenarnya ngga peduli. It means, ketika gue punya masalah dan
itu mengganggu pikiran gue, dalam pikiran orang lain,
“Elah.. masalah sepele begitu
dipikirin,”
Jadi, orang lain seperti memandang sebelah mata apapun
yang gue pikirin. Sehingga, gue takut menceritakan apa yang gue pikirin ke
orang lain. Mungkin, itu juga yang membuat gue introvert, lebih sering di rumah ketimbang nongkrong dengan orang
lain, kalau jalan-jalan keluar rumah entah itu nonton di bioskop atau ke toko
buku atau pergi makan lebih sering sendirian, bahkan sering banget ngomong
sendiri sampai dikirain aneh oleh orang lain.
Itu juga alasan kenapa gue menulis. Karena ini
satu-satunya jalan sekarang yang gue punya untuk mencurahkan apa yang ada dalam
pikiran gue. Karena semakin lama gue pendam, bisa gila jadinya gue nanti. Let me tell you, beberapa post di blog
ini menceritakan sesungguhnya apa yang gue rasakan, hanya saja gue desain supaya
kelihatan tidak terlalu mengenaskan. Jadi, orang lain hanya melihat postingan
di blog ini sebagai karya gue, bukan perasaan gue.
Raditya Dika pernah bilang di sebuah seminar
kepenulisan, “Tulisan terbaik adalah yang berasal dari pengalaman sendiri,” So, this is what I do these days.
Gue lagi membuat cerita semi-fiksi. Kenapa gue
bilang semi-fiksi? Karena cerita itu mengandung apa yang sebenarnya terjadi
kepada gue dan gue tutupi dengan bumbu fiksi. Jadi, gue bisa mencurahkan apa
yang gue pendam, dan orang lain kemungkinan mau membacanya juga meningkat. Win-win solution.
Dasar lain gue membuat cerita ini sebenarnya dari
salah satu perkataan Bernard Batubara, seorang penulis. Dulu dia bilang, “How to be a good writer : 1. Love Someone ;
2. Let it breaks your heart ; 3. Write a story about your broken love ; 4.
Publish it ; 5. Be happy.”
Nah, gue lagi dalam tahapan ketiga, and it’s still a long way to go untuk
sampai ke tahap terakhir, be happy.
Gue rencananya mau buat long love story dan nanti dipublish
ke blog ini. Ya, berhubung yang baca blog ini cuma ada tiga tipe : Ga
sengaja atau lagi ngga ada kerjaan atau gue paksa, jadi gue ngga terlalu
memusingkan siapa yang baca dan apa nanti yang akan terjadi setelah selesai
nulis ini. Citra gue sebagai orang baperan udah terlalu melekat di mata orang
lain.
Semoga dengan gue ngepost ini, gue jadi rajin
menyelesaikan cerita ini.
Regards,
Weirdo Koala Knight.
Pernah ngga sih kalian punya cerita, kisah, masalah,
atau apapun yang mengganggu pikiran kalian and
you don’t have person to share with?
Gue pernah. Bahkan sampai sekarang.
Well, actually
bukannya gue ngga punya orang untuk berbagi, kesannya seperti gue ngga punya
teman atau keluarga. Tapi, gue seperti dalam kondisi dimana gue ngga bisa
mempercayakan orang lain untuk mendengarnya. Ketika ada sesuatu yang mengganggu
pikiran, gue lebih cenderung untuk memendamnya sendiri atau jika misalnya ketahuan
lagi ada masalah, gue akan mengcover
itu dengan cerita lain.
Kenapa gue begitu? Alasan halusnya sih, trauma. Gue
pernah mengalami kejadian dimana sampai akhirnya gue berpikir bahwa ketika gue
menceritakan masalah gue ke orang lain, orang itu sebenarnya ngga peduli. It means, ketika gue punya masalah dan
itu mengganggu pikiran gue, dalam pikiran orang lain,
“Elah.. masalah sepele begitu
dipikirin,”
Jadi, orang lain seperti memandang sebelah mata apapun
yang gue pikirin. Sehingga, gue takut menceritakan apa yang gue pikirin ke
orang lain. Mungkin, itu juga yang membuat gue introvert, lebih sering di rumah ketimbang nongkrong dengan orang
lain, kalau jalan-jalan keluar rumah entah itu nonton di bioskop atau ke toko
buku atau pergi makan lebih sering sendirian, bahkan sering banget ngomong
sendiri sampai dikirain aneh oleh orang lain.
Itu juga alasan kenapa gue menulis. Karena ini
satu-satunya jalan sekarang yang gue punya untuk mencurahkan apa yang ada dalam
pikiran gue. Karena semakin lama gue pendam, bisa gila jadinya gue nanti. Let me tell you, beberapa post di blog
ini menceritakan sesungguhnya apa yang gue rasakan, hanya saja gue desain supaya
kelihatan tidak terlalu mengenaskan. Jadi, orang lain hanya melihat postingan
di blog ini sebagai karya gue, bukan perasaan gue.
Raditya Dika pernah bilang di sebuah seminar
kepenulisan, “Tulisan terbaik adalah yang berasal dari pengalaman sendiri,” So, this is what I do these days.
Gue lagi membuat cerita semi-fiksi. Kenapa gue
bilang semi-fiksi? Karena cerita itu mengandung apa yang sebenarnya terjadi
kepada gue dan gue tutupi dengan bumbu fiksi. Jadi, gue bisa mencurahkan apa
yang gue pendam, dan orang lain kemungkinan mau membacanya juga meningkat. Win-win solution.
Dasar lain gue membuat cerita ini sebenarnya dari
salah satu perkataan Bernard Batubara, seorang penulis. Dulu dia bilang, “How to be a good writer : 1. Love Someone ;
2. Let it breaks your heart ; 3. Write a story about your broken love ; 4.
Publish it ; 5. Be happy.”
Nah, gue lagi dalam tahapan ketiga, and it’s still a long way to go untuk
sampai ke tahap terakhir, be happy.
Gue rencananya mau buat long love story dan nanti dipublish
ke blog ini. Ya, berhubung yang baca blog ini cuma ada tiga tipe : Ga
sengaja atau lagi ngga ada kerjaan atau gue paksa, jadi gue ngga terlalu
memusingkan siapa yang baca dan apa nanti yang akan terjadi setelah selesai
nulis ini. Citra gue sebagai orang baperan udah terlalu melekat di mata orang
lain.
Semoga dengan gue ngepost ini, gue jadi rajin
menyelesaikan cerita ini.
Regards,
Weirdo Koala Knight.