Tanah Air Beta. Indonesia (1)
Mumpung mau dekat hari kemerdekaan Indonesia, jadi pengen bahas Indonesia deh.
Kalau
kita pergi ke London, ada transportasi umum yang namanya tube. Kalau naik tube,
kita bakal menemukan pemandangan menarik bahwa penduduk London itu sangat
beragam. Dalam satu gerbong saja, kita bisa menemukan orang keturunan Asia,
Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, Eropa dan lain-lain dengan jumlah yang
kurang lebih hampir sama.
Maka
benarlah kalau London itu disebut sebagai ibukota dari para world citizen. Statistically, menyebutkan bahwa perbandingan penduduk London
kelahiran Inggris dengan penduduk London kelahiran di luar Inggris cukup tipis.
57,8 persen berbanding 42,2 persen. Ethnically,
selain ada orang Inggris, ada orang India, Yunani, Mesir, Somalia, Ghana,
Jamaika, Jepang, Pakistan, Turki, dan lain-lain. Bahkan menurut Wikipedia, ada lebih
dari tiga ratus bahasa digunakan di kota ini. Amazing, right?
Salah
satu contoh yang terkenal adalah pelari Mo Farah yang baru-baru ini menang emas
di Olimpiade Rio de Janeiro di bidang lari 10000 m putra. Dia kelahiran
Mogadishu, Somalia dan sekarang berkewarganegaraan Inggris.
Kalau
dipikir-pikir hal ini kurang lebih hampir sama dengan di Indonesia dari sisi
keragaman. Bedanya, di Indonesia punya ratusan bahasa yang berbeda itu berasal
dari satu kewarganegaraan yakni Indonesia.
Nah,
sebenarnya apa yang didapat London dari keberagaman ini? Apakah justru jadi
masalah? Yang pasti penelitian menunjukkan bahwa dean direksi yang campur
gender dan ras itu lebih baik performanya daripada yang Cuma segender dan
seras.
Gua
pernah baca juga, McKinsey and Company merilis temuannya bahwa perusahaan yang
memiliki ragam gender dan ras itu 10 persen lebih tinggi daripada perusahaan
lain mampu mencapai capaian perusahaan 5,6 persen lebih tinggi. Kesimpulannya,
keragaman itu membawa hasil yang baik dalam bisnis.
Tapi,
temuan yang lebih menarik bahwa penelitian dari Wayra UK yang melakukan
penelitian terhadap 240 perusahaan start-up
di London menunjukkan bahwa 82,5 persen responden setuju bahwa keragaman
membawa pemikiran baru dan kultur inovasi. Sebesar 97,1 persen responden setuju
untuk bekerja dalam keragaman. So,
warga London bukan beragam saja, tapi mau dan bersedia bekerja sama dalam
perbedaan.
Nah,
Indonesia itu masih banyak belajar dari sini.
Kita
sering banget disuapi jargon “Bhinneka Tunggal Ika” tapi pada kenyataannya kita
belum benar-benar bisa bekerja sama dalam perbedaan. Bahkan, belum bisa
menghargai perbedaan apalagi perbedaan pendapat.
Sayang
sekali, Indonesia yang sudah dikaruniai keragaman sejak awal, ngga seperti
London yang keragamannya datang dari para pendatang. Tapi, justru kita ngga
bisa memanfaatkan keragaman ini sebagai keunggulan.
Bukti
ketidakmampuan Indonesia bekerja sama dalam perbedaan muncul dari prestasi
olahraga kita. Prestasi olahraga internasional
yag diraih Indonesia itu selalu dari cabang olahraga perseorangan atau
paling mentok cabang ganda. Seperti, bulu tangkis, catur, judo, atletik,
panahan.
Giliran
olahraga tim seperti sepakbola, basket, voli, selalu mengecewakan. Ada anomali di
tim Perahu Naga yang dapat emas SEA Games. Itupun banyak yang ngga tahu.
Bukti
ketidakkompakan kita dalam merangkul perbedaan pendapat bisa kita lihat dari
media sosial. Di Twitter misalkan. Sering terlihat bahwa bagi banyak orang,
kebebasan berpendapat itu hanya buat orang-orang yang pendapatnya sama. Giliran
ada yang pendapatnya berbeda, berseberangan, seringkali mereka ingin
membungkam, menyalahkan dan menyerang balik.
Masalahnya,
kunci untuk hasil yang optimal dalam mengerjakan sesuatu datang dari kemampuan
untuk memahami perbedaan, mengakodomasi perbedaan pendapat tersebut dan
meramunya menjadi kekuatan besar.
Yang
pasti, Indonesia harus mencari cara untuk bersatu. Bukan menjadi satu. Bersatu
artinya sama-sama sadar dan merangkul perbedaan, serta mencoba bersatu. Bukan
menjadi satu dan menghilangkan keragaman yang lain di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar