Trump's Triumph!




I’m back!

Jadi kali ini mau bahas tentang pemilihan presiden Amerika kemarin. 8 November 2016 menjadi tanggal bersejarah buat Amerika, seorang Donald J. Trump terpilih menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat. Can you believe that? Siapa yang mengira sebelumnya bahwa Trump yang akan menggantikan Obama. Mungkin banyak orang Amerika maupun dunia masih tidak menyangka bahwa Trump akan menang melawan Clinton di pilpres kemarin.

Pada awalnya, pencalonan Donald Trump sebagai bakal calon presiden Amerika Serikat dari partai Republik itu banyak dipandang sebelah mata oleh mayoritas orang. Bahkan pada pemilihan calon presiden dari partai Republik, gua lebih menjagokan Ted Cruz. Trump yang bicaranya relatif blak-blakan dan pembawaan yang cenderung konyol ternyata mampu membuat dia menarik perhatian masyarakat AS. Dan menurut gua ini adalah pilpres AS terseru yang pernah gua amati. Sampai-sampai ngga fokus dengerin dosen pas kuliah gara-gara mantengin hasil pilpres kemarin.

Bagaimana ngga? Pemilu kali ini sangat membagi pilihan rakyat AS. Sering terjadi adu pernyataan dan pencitraan antar kedua kubu di berbagai media. Sekilas memang kelihatannya banyak orang lebih menjagokan Clinton yang lebih berpengalaman ketimbang Trump yang selain tidak berpengalaman juga rasis tingkat dewa.

Dia kelihatan mengidap Islamophobia hingga di dalam kampanyenya sering mengatakan bahwa dia berkeinginan untuk membatasi imigran di AS. Sebuah pencitraan yang salah dan tidak mengambil simpati dari publik. Tapi, sekarang kita tidak bisa menyangkal bahwa Trump memenangkan pemilu bahkan di daerah-daerah yang notabene adalah basis pendukung Demokrat dan Hillary malah dimenangkan Trump. Gila ngga tuh?

Jadi apa yang menyebabkan Trump bisa membalikkan semua perkiraan yang dibuat sebelumnya oleh para pakar ataupun analis?

Survei-survei yang beredar sebelum pemilihan menunjukkan bahwa Hillary akan menang walaupun dengan perbedaan yang tipis. Menurut gua, banyak pendukung Trump yang malu mengakui bahwa mereka memilih Trump kala itu. Tapi, faktanya mereka tetap memilih Trump. Mungkin mereka sudah tersenyum lebar sekarang.

Angka partisipasi pemilu di AS cukup rendah. Menurut salah satu lembaga survei independen disana menunjukkan kalau angka partisipasi pemilu disana tidak mencapai 60 persen. Bahkan untuk pemilihan senat atau anggota kongres hanya sekitar 40 persen. Mungkin sekarang mereka menyesal ngga ikut memilih.

Lalu, suara di negara bagian Ohio, Florida dan North Carolina semuanya mengarah ke Trump. Apa maknanya? Kelas pekerja kulit putih disana apalagi yang ngga mengenyam kuliah baik laki-laki maupun perempuan, beramai-ramai meninggalkan Demokrat dan memilih calon Republik. Mereka yang tinggal di pedesaan menggunakan suaranya, antara lain dengan tujuan suara mereka didengar. Mereka inilah yang selama ini merasa ditinggalkan kalangan yang mapan.

Waktu gua liat Wisconsin dimenangkan Trump, gua udah yakin bahwa Clinton udah ngga punya harapan lagi.

Trump seperti memakai baju antipeluru. Peluru disini maksudnya adalah dampak-dampak buruk yang menimpa dirinya. Trump mengejek politikus dan veteran perang, John McCain (lawan Obama di pilpres 2008). Pernah adu mulut dengan pembawa acara Fox News yang gua lupa siapa namanya. Pernah juga mengejek peserta ratu kecantikan dan setengah hati saat meminta maaf dalam kasus video yang menunjukkan ia sangat merendahkan perempuan. Juga tampil tidak meyakinkan di tiga debat presiden kemarin. Tapi ternyata itu ngga berdampak buruk buat Trump. Mungkin juga saking banyaknya kontroversi yang ia munculkan datang bertubi-tubi, public jadi ngga punya waktu buat mencernanya.

Bisa dibilang, Trump ngga hanya melawan Demokrat tapi juga dengan para tokoh Republik, seperti McCain yang satu per satu meninggalkannya. Tapi ia tetap menang. Para pesaingnya di kubu Republik seperti Chris Christie, Marco Rubio, Ben Carson bahkan Ted Cruz bertekuk lutut. Bisa saja, dia menjadi popular karena berani melawan para tokoh Republik. Langkahnya itu mengesankan dia adalah orang luar atau independen. Status ini kelihatan ketika para warga AS sudah ngga mau melihat tokoh-tokoh politik mapan di panggung politik AS. Sebenarnya, Sanders dari Demokrat dan Cruz dari Republik udah menangkap suasana ini. Tapi malah Trump yang merebutnya dan berhasil mengantarkannya ke Gedung Putih.

Yang menarik adalah kasus e-mail Clinton ketika menjadi Menlu AS yang digembor-gemborkan Trump di berbagai kesempatan. Sampai tiga minggu lalu, orang-orang masih yakin Hillary akan menang. Sampai saatnya James Comey, direktur FBI mengeluarkan surat keputusan bahwa FBI akan membuka lagi kasus penggunaan email pribadi dalam korespondensi Clinton sebagai Menlu AS. Walaupun hasilnya tidak terbukti, namun waktu dua minggu hingga dua hari sebelum pemilihan cukup mengikis suara Clinton dan dua hari tidak cukup untuk meningkatkan elektabilitasnya.

Coba aja, Clinton pakai email kantor.

Yang menarik lagi adalah Trump itu percaya insting. Kampanyenya jelas bukan kampanye biasa dan hasil pilpres memperlihatkan bahwa ia lebih paham ketimbang pakar politik. Ia ngga terlalu menggantungkan diri pada jajak pendapat dan lebih memilih buat terjun langsung ke lapangan dengan mengunjungi pemilih di Wisconsin dan Michigan yang menurut pakar tidak bisa dimenangkan Republik. Ia lebih suka menggelar rapat-rapat akbar seraya mengirim pesan agar warga menggunakan hak suara mereka.

Kampanyenya memang kalah rapi ketimbang Clinton. Dananya juga lebih sedikit (Trump hanya USD 293 juta sedangkan Clinton USD 718 juta), walaupun memang sih disana dana ngga terlalu ngefek di pilpres dan lebih cenderung ngefek ke pemilihan senat dan anggota kongres. Tapi faktanya Trump bisa mengalahkan Clinton.

Trump juga bisa menyentuh isu-isu yang concern di masyarakat. Mungkin salah satunya adalah masalah Islamophobia itu. Dia juga memiliki daya tarik yang tinggi.

Yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah apakah publik AS lebih memilih Trump yang kurang waras ketimbang Clinton karena sebagai manifestasi kekecewaan dan kekesalan publik AS terhadapnya negaranya sendiri? Ya, bisa jadi dan tentu ada alasan-alasan lain.

Yang penting adalah periode pilpres AS kali ini menjadi Trump’s triumph. Kemenangan yang diikuti dengan rasa was-was dunia apa yang akan terjadi berikutnya.

We’ll see.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar