Sasaran mulia kita dalam hidup ini adalah untuk mencintai. Selebihnya hanya keheningan.
     Kita butuh mencintai. Walaupun cinta itu membawa kita ke negeri yang danau-danaunya diisi dengan air mata.
     Air mata mempunyai bahasanya sendiri. Kita merasa sudah menumpahkan seluruhnya, tapi masih juga air mata itu mengalir tak terbendung. Sebaliknya, saat kita yakin hidup kita ditakdirkan menjadi suatu perjalanan panjang di Lembah Kesedihan, tiba-tiba air mata itu berhenti mengalir.
     Sebab, kita berhasil untuk tetap membuka hati, walau di tengah penderitaan.
     Sebab, kita sadari bahwa orang yang meninggalkan kita tidak membawa pergi matahari bersamanya, tidak juga menyisakan kegelapan di tempat yang mereka  tinggalkan. Mereka sekedar pergi, dan dalam setiap perpisahan selalu tersembunyi sepercik harapan.
     Lebih baik pernah mencintai dan kehilangan daripada tak pernah mencintai sama sekali.
     Satu-satunya pilihan sejati kita adalah terjun ke dalam misteri daya yang tak terkendalikan itu. Bisa saja kita berkata, ‘Aku pernah mengalami penderitaan besar, dan aku tahu cinta ini juga tak akan bertahan lama,’ dan dengan demikian kita pun mengusir cinta yang datang mengetuk pintu. Tetapi, jika itu kita lakukan, berarti kita menutup diri terhadap kehidupan.
     Kita mencintai sebab cinta membebaskan kita, dan membuat kita berani mengucapkan hal-hal yang sebelumnya tak berani kita bisikkan pada diri sendiri sekalipun.
     Kita belajar berkata tidak, tanpa menganggap kata itu sebagai kutukan.
     Kita belajar berkata ya tanpa takut akan konsekuensi-konsekuensinya.
     Kita lupakan semua yang diajarkan kepada kita tentang cinta, sebab setiap pertemuan pasti berbeda dan membawa kepedihan serta sukacitanya masing-masing.
     Kita bernyanyi lebih lantang saat orang yang kita cintai berada jauh dari kita, dan kita bisikkan puisi-puisi saat dia dekat dengan kita, walau seandainya dia tidak mendengarkan dan tidak menaruh perhatian pada nyanyian maupun bisikan itu.
     Kita tidak menutup mata terhadap alam semesta, lalu mengeluh, ‘Gelap sekali.’ Kita justru membuka mata lebar-lebar, sebab kita tahu cahaya itu bisa menuntun kita untuk melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan. Semua itu bagian dari cinta.
     Hati kita terbuka untuk cinta, dan kita pasrahkan diri kepadanya, tanpa rasa takut, sebab tak ada lagi yang bisa diambil dari kita.
     Lalu, sesampainya di rumah, kita lihat ada seseorang yang menunggu kita. Orang yang mencari hal yang sama, mengalami kecemasan dan kerinduan-kerinduan yang sama.
     Sebab, cinta ibarat air yang berubah menjadi awan, air itu terangkat ke langit dan bisa melihat segala sesuatu dari kejauhan, menyadari bahwa suatu hari dia harus kembali ke Bumi.
     Sebab, cinta bisa diibaratkan awan yang berubah menjadi hujan. Hujan yang terpikat pada Bumi dan turun untuk mengairi ladang-ladang.
     Cinta hanya sebuah kata, sampai kita biarkan cinta menguasai kita dengan segenap dayanya. Cinta hanya sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberikan maknanya.
     Jangan pernah sekalipun menyerah. Ingatlah, kunci yang bisa membuka pintu selalu kunci terakhir dalam rangkaiannya.
***
     Setelah aku menjelaskan jawabanku, dia hanya terpaku menatap mataku. Seolah terbius dengan kata-kataku tadi. Lalu, dia berkata.
     “Untaian kata-katamu itu sangat indah. Seolah kamu paham betul tentang cinta. Namun, kenapa kamu masih sendiri?”
     Aku hanya tersenyum kecil ketika dia menanyakan hal itu, “Kesendirianku saat ini adalah takdirku. Hanya masalah waktu, Tuhan akan mengubah kesendirianku menjadi kebersamaan dengan orang lain yang akan menemaniku dan mencintaiku sampai sang Malaikat Maut menemuiku.”
     “Apa tak ada orang yang pernah mencintaimu?” tanyanya.
     “Sejauh ini tak ada. Makanya, aku masih mencari siapa yang akan mencintaiku. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku takkan pernah menyerah untuk masalah mencintai ini.”
     “Berarti, cintamu selalu bertepuk sebelah tangan?” tanyanya lagi.
     “Ya, sejauh ini iya. Bahkan pernah suatu ketika aku lulus dari SMA ku, aku merencanakan mengungkapkan perasaanku terhadap seseorang yang satu sekolah denganku. Perasaan yang sudah aku pendam selama hampir 3 tahun! Bayangkan, 3 tahun! Dan ketika aku mengungkapkannya, dia menolak dengan alasan menyukai orang lain yang tak lebih adalah temanku sendiri.”
     “Wah, ironis sekali.”
     “Kau boleh berkata seperti itu. Memang ironis. Perasaan yang kau semai dan kau jaga begitu lama, hancur lebur berkeping-keping dengan satu kalimat penolakan. Tetapi, dalam kasus-kasus cinta yang bertepuk sebelah tangan pun selalu ada harapan bahwa suatu hari nanti cinta itu akan berbalas.”
     Dia hanya terdiam sesaat, dan menanyakan sesuatu lagi.
     “Jadi, kau sudah menyendiri sejak kapan?”
     “Hampir setahun. Sejak dia yang tadi kuceritakan menolakku.”
     “Apa yang kau dapatkan dari kesendirianmu ini? Jujur saja, aku takkan sanggup untuk menyendiri selama itu,”
     Aku menyunggingkan senyumku, dan mulai menjawab pertanyaannya.
***
     Tanpa kesendirian, cinta takkan bertahan lama  disampingmu.
     Sebab, cinta perlu melepas lelah, supaya dapatlah dia berkelana di awan-awan surga dan menjelmakan dirikan dalam beragam rupa.
     Tanpa kesendirian, tanaman dan hewan takkan bertahan, tanaman tidak berproduksi, anak kecil tidak akan belajar tentang kehidupan, seniman tidak berkarya, pekerjaan tidak berkembang dan berubah.
     Kesendirian bukan berarti tak ada cinta, melainkan justru menyempurnakannya.
     Kesendirian bukan berarti tak berkawan, melainkan saat bagi jiwa kita untuk bebas berbicara dan membantu memutuskan yang hendak kita lakukan atas hidup kita.
     Maka, diberkatilah mereka yang tidak takut akan kesendirian, yang tidak gentar berkawan dengan dirinya sendiri, yang tidak senantiasa membutuhkan kegiatan, sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, sesuatu untuk dihakimi.
     Bila tak pernah sendirian, mana mungkin kau mengenal dirimu sendiri. Dan bila tidak mengenal dirimu sendiri, kau akan  mulai takut akan kekosongan.
     Namun, kekosongan itu tak ada. Sebab dalam jiwa kita ada semesta yang sangat luas dan menunggu ditemukan. Semesta itu ada dengan segenap kedigdayaannya yang utuh, namun begitu baru  dan perkasa sehingga kita takut mengakui keberadaannya.
     Dalam upaya menemukan diri, kita akan dipaksa mengakui bahwa kita sanggup melangkah lebih jauh ketimbang yang kita kira. Itu sebabnya kita takut. Lebih baik tidak mengambil resiko itu.
     Begitu rasanya lebih nyaman. Lebih aman. Lagi pula, itu sama saja dengan melepaskan kehidupanmu yang sekarang.
     Maka, celakalah mereka yang menghabiskan umurnya dan berkata, ‘Aku tak pernah punya kesempatan!’.
     Sebab hari demi hari mereka tenggelam semakin dalam di sumur keterbatasan-keterbatasan mereka sendiri, dan pada waktunya nanti mereka tak punya tenaga lagi untuk memanjat keluar dang menemukan cahaya terang yang memancar dari lubang di atas kepala mereka.
     Tetapi, diberkatilah mereka yang berkata, ‘Aku tidak cukup berani.’.
     Sebab, mereka tahu bahwa itu bukan salah siapa-siapa. Dan cepat atau lambat, mereka akan menemukan keyakinan yang dibutuhkan untuk menghadapi kesendirian beserta misteri-misterinya.
     Bagi mereka yang tidak takut pada kesendirian yang mengungkapkan segala misteri, semuanya akan terasa berbeda.
     Dalam kesendirian, akan mereka temukan cinta yang kedatangannya mungkin luput dari perhatian. Dalam kesendirian, mereka akan memahami dan menghargai cinta yang telah pergi.
     Dalam kesendirian, mereka bisa memutuskan, layakkah mereka meminta cinta yang telah pergi untuk kembali, atau sebaiknya biarkan dia berlalu dan membuka lembaran baru lagi.
     Dalam kesendirian, mereka akan belajar bahwa berkata tidak, belum tentu tanda tak murah hati, dan berkata ya, bukan selalu merupakan kebajikan.
     Dan mereka yang saat ini sedang sendirian, tak perlu merasa takut mendengar ucapan si Iblis, ‘Kau hanya membuang-buang waktumu.”
     Atau, bahkan ucapan si raja Iblis yang lebih beracun, ‘Tidak ada yang peduli padamu.”
     Energi Ilahi mendengarkan saat kita berbicara pada orang-orang lain, juga sewaktu kita berdiam diri, membisu, dan sanggup menerima kesendirian sebagai berkat.
     Dan pada saat-saat demikian, cahaya-Nya menerangi semua yang ada di sekitar kita dan membantu kita melihat diri kita dibutuhkan, dan bahwa kehadiran kita di dunia ini membawa perbedaan yang sangat besar terhadap karya-Nya.
     Dan saat keselarasan itu tercapai, kita telah mendapatkan lebih dari yang kita minta.
     Bagi mereka yang merasa tertekan oleh kesendirian, penting untuk diingat bahwa pada saat-saat paling krusial dalam hidup ini, kita selalu sendirian.
     Buktinya?
     Lihatlah anak kecil yang baru lahir dari rahim perempuan. Sebanyak apapun orang lain yang ada di sekitarnya, pilihan untuk hidup ada pada anak itu sendiri.
     Atau seniman dan penulis dengan karyanya. Agar karyanya benar-benar gemilang, mereka hanya perlu berdiam diri dan mendengarkan bahasa para malaikat.
     Ataupun saat kita berhadapan dengan Tamu Tak Diundang. Sang Maut. Kita akan sendirian pada saat paling penting dan paling ditakuti dalam eksistensi hidup kita.
     Seperti halnya cinta merupakan kondisi Ilahi, demikan pula kesendirian, merupakan kondisi manusia. Dan bagi mereka yang memahami keajaiban hidup kedua unsur tersebut, cinta dan kesendirian, hidup berdampingan dengan damai.
***

Bersambung...


Kisah yang akan kuceritakan ini adalah kisah yang kualami ketika bertemu dengan seorang wanita di dataran Singapura beberapa tahun yang lalu.
     Ketika itu, aku sedang berlibur dengan sanak keluargaku di Singapura. Negara kota ini sangatlah ramai. Tak pernah sepi. Malam ketika aku bertemu wanita itu kebetulan adalah malam akhir pekan atau malam minggu. Sekitar pukul 8 malam, aku baru saja kembali dari masjid tertua yang ada di Singapura. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan malam itu berjalan-jalan membelah kota Singapura.
     Sepanjang perjalananku itu, banyak bertemu dengan orang-orang yang berjalan bergandengan mesra di sepanjang sisi jalan yang kulewati. Aroma perayaan Natal pun sudah mulai tercium. Banyak pernak-pernik Natal terpasang di sepanjang jalanan kota Singapura.
     Ketika langkahku sudah mencapai Orchard Road, aku memutuskan untuk rehat di salah satu kafe 24 jam di sekitar situ. Ketika aku masuk ke dalam kafe itu, tercium aroma khas kopi yang sangat kuat. Aku melihat seorang barista sedang meracik minuman yang dibuatnya. Suasana kafe itu sedang penuh. Hampir semua meja terisi, hanya tersisa satu meja kosong yang terletak di pojok kafe itu. Aku langsung menuju meja tersebut.
     Pelayan kafe itu datang dan menanyakan apa yang kupesan dengan bahasa Inggris disertai dialek Melayu yang sangat kental. Aku menyebutkan minuman favoritku, iced French vanilla coffee. Ia mengangguk dan pergi. Aku melihat sekelilingku. Kebanyakan meja diisi oleh pasangan muda-mudi, ada pula yang berkelompok seperti ibu-ibu arisan. Hanya mejaku yang diisi satu orang, yakni diriku sendiri.
     Tak selang beberapa lama setelah pesananku datang, wanita itu masuk ke kafe ini dan menerawang seisi kafe ini dan matanya terpaku padaku. Lalu, ia mendekat dan bertanya padaku.
     “Apakah kau sedang menunggu seseorang?”
     “Tidak. Aku hanya sendiri,” Aku terkejut karena dia menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
     “Kalau begitu, bisakah aku duduk disini. Kulihat hanya meja ini yang tersisa,”
     “Oh, tentu saja. Silahkan,” aku mempersilahkan dia duduk. Dia lantas memanggil pelayan dan memesan minumannya. Entahlah, aku lupa apa yang dipesannya kala itu, namun ia juga memesan French fries untuk dimakan kita berdua.
     “Aku yang traktir, sebagai tanda terima kasih kamu telah mengizinkanku duduk disini,” katanya.
     Lalu, dia bertanya padaku segala macam tentangku sembari menjelaskan tentang dia. Sampai di sebuah pertanyaan.
     “Bagaimana dengan hubungan asmara kamu?” tanyanya.
     “Aku masih sendiri,” jawabku enteng.
     “Pernah punya pacar?”
     “Ya sekali. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengannya. Long Distance Relationship,” ujarku.
     Ada keheningan sesaat. Lalu, aku bertanya balik padanya.
     “Bagaimana denganmu?”
     Dia hanya terdiam dan memalingkan wajahnya ke arah jendela kafe. Dia hanya berkata satu kalimat.
     “Cinta selalu melewatiku begitu saja,” katanya. Lalu, dia memandangku, “Menurutmu apa cinta itu?”
     Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. Aku pun berpikir. Sebenarnya sudah ribuan kali aku ditanya seperti itu, namun aku tetap berpikir jawaban apa yang akan kuberikan padanya.
     Aku menghela nafas dan mulai berkata.
***
     Untuk mendengar tutur katanya, biarkanlah cinta mendekat.
     Tetapi saat cinta benar-benar mendekat, kita takut akan perkataannya, sebab cinta itu bebas dan tak bisa dikendalikan oleh kehendak maupun tindak-tanduk kita.
     Semua kekasih mengetahuinya, namun enggan menerimanya. Mereka pikir cinta bisa dibujuk lewat sikap mengalah, kekuasaan, kecantikan, kekayaan, air mata, dan senyuman.
     Tetapi, cinta sejati adalah cinta yang menarik kita kepadanya namun tak membiarkan kita menarik dirinya.
     Cinta mengubah, cinta juga menyembuhkan. Namun, kadangkala cinta juga menebarkan perangkap-perangkap berbahaya yang membawa kehancuran pada orang yang menyerahkan diri sepenuhnya pada cinta. Mengapa daya yang sanggup menggerakkan dunia dan menahan bintang-bintang di tempatnya bisa begitu kreatif sekaligus meluluh lantakkan?
     Kita terbiasa menganggap bahwa apa yang kita berikan sudah setimpal dengan apa yang kita terima, tetapi orang-orang yang mencintai dan mengharapkan cintanya dibalas hanya membuang-buang waktu mereka.
     Cinta adalah keyakinan, bukan pertukaran.
     Kontradiksi. Itulah yang membuat cinta bertumbuh. Konflik. Itulah yang membuat cinta tetap bertahan di samping kita.
     Hidup ini terlalu singkat, maka janganlah ucapan ‘Aku mencintaimu’ kita simpan rapat-rapat di dalam hati.
     Tetapi, jangan selalu berharap mendengar ucapan yang sama sebagai balasannya. Kita mencintai karena kita butuh mencintai. Kalau tidak, cinta kehilangan seluruh maknanya dan matahari pun berhenti bersinar.
     Aku ada sebuah kisah, sekuntum mawar memimpikan berada di tengah kawanan lebah, namun tak satu lebah pun mendatanginya. Matahari pun bertanya.
     “Tidakkah kau lelah menunggu?”
     “Ya,” sahut mawar itu, “Tetapi apabila aku menutup kelopak-kelopakku, aku akan layu dan mati.”
     Lihat, bahkan ketika cinta tak kunjung datang, kita tetap membuka diri untuk kehadirannya. Kadang-kadang, saat kesepian seperti hendak meruntuhkan segalanya, satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan terus mencintai.

Bersambung..


     Mungkin agak banci ya gue nulis begini, tapi ya ga ada salahnya gue berbagi disini, ya ga ada juga sih yang baca jadi ga apa-apa. Bodo amat deh. Dan pertama-tama, sorry banget yang kebetulan baca dan merasa tersinggung dengan tulisan gue. No reason.
     Mungkin juga kalian yang kebetulan bakal baca ini bakal menganggap gue aneh, weird, freak ataupun sejenisnya karena pikiran gue yang sangat jauh berbeda dengan kebanyakan anak seumuran gue sendiri. Gue masih berumur antara 17 dan 18 tahun pada saat awal gue memikirkan ini. Tapi, jujur gue mengakui gue aneh dan kadang tidak punya tempat dimana-mana. Just like Graham Moore. Dia ketika berumur 16 tahun, dia adalah seorang yang sangat aneh dan kadang dikucilkan oleh teman-temannya, sampai dia ingin bunuh diri. Untung ga jadi bunuh diri sih. Jika kalian bertanya who is him? Dia peraih Oscar baru-baru ini di bidang Skenario Adaptasi Terbaik. Persamaannya : sama-sama aneh. Perbedaannya : gue ga pernah niat untuk ngebelah jantung gue sampai gue mati kehabisan darah. Gue masih waras, ya. Waras tapi aneh.
     Sebenarnya, ini udah menghantui otak gue selama kurang lebih 4 bulan lamanya. Ini tentang perubahan sikap yang gue terima hanya dalam kurun waktu  sekitar dua minggu. Dimana sebenernya gue terjebak dalam sebuah dilema yang berkepanjangan sampai sekarang. Jujur, gue suka sama seseorang beberapa bulan lalu, mungkin sampai saat ini. MUNGKIN. Sampai gue bela-belain ngasih cincin keramat gue yang dikasih sama seorang kakek tua yang gue juga ga tahu siapa. Cincin itu tergores nama gue, lho. Aneh ya. Makanya gue bilang keramat. Ga usah kalian nanya siapa nama cewek ga beruntung yang gue suka itu. Gue juga ga ngerti sebenarnya kenapa gue bisa suka sama dia. Yah, memang itu yang sering para sastrawan katakan, “Ga perlu mendeskripsikan kenapa kalian suka bahkan cinta sama seseorang. Hal itu ga perlu alasan.”. Yah, stop kata-kata bancinya.
     Kejadiannya sih sebenarnya mungkin simple ya di mata orang lain. Hanya untuk menentukan pilihan. Memilih satu dari dua pilihan. Oke, itu berat. Pilihan pertama, gue harus ikut something kampret called *********** dan menjadi bulan-bulanan serta kacung para tetua entah sampai kapan. Dan di sisi lain, gue ga ikut dan free menentukan jalan cerita hidup gue di kampus.
     Gue di sisi mana? Second choice. Of course. Gue lebih memilih itu, ya karena dalam pemikiran gue acara  yang gue sensor itu udah ga diperlukan lagi. Sumpah, sistem kaderisasi seperti itu udah ga dibutuhkan lagi. Serius deh. Mungkin bawaan sistem yang diturunkan sejak dahulu, dan ga ada niatan buat ngeubah itu. Mungkin ada yang niat, Cuma segelintir orang. Tapi, ga bisa terwujud. Kayaknya emang enak ngerjain junior itu dengan modus ngajarin untuk jadi agen perubahan atau sejenisnya. Walaupun gue bukan korban langsung krisis 1998, gue ga bisa berleha-leha memikirkan nasib bangsa karena yang gue tahu kalau gue tak cepat-cepat lulus dan punya prestasi, nasib masa depan gue tak akan jelas-jelas amat.
     Gue ga habis mikir, bagaimana caranya para tetua ini berpikir bahwa mahasiswa baru bisa dididik menjadi agen perubahan yang peduli pada nasib rakyat dan sebagainya sementara pola orientasinya sangat feodalistis. Oke ga usah kita bahas lebih lanjut, sebelum gue jadi buronan para tetua itu dan mungkin mi madre juga karena gue banyak bacot masalah ini disini.
     Nah, balik ke permasalahan pilihan. Pilihan yang selalu bermasalah. Tentu, gue memikirkan baik dan buruknya dua pilihan itu. But, I  prefer to the second. Tapi, dari permasalahan ini, ada permasalahan yang menurut gue lebih besar secara psikis gue. She is in the other choice. And when I told her about what my reason choose my choice, she disconnect the communication between us. Disconnected. Full disconnected. Semenjak percakapan adu mulut gue membahas itu dengan dia via telepon yang hampir membuat gue masuk koran karena kecelakaan di jalan raya, kita ga pernah ngomong lagi. Lebih tepatnya dia ga mau ngomong lagi dengan gue. Sampai detik ini.
     Yang gue pikir ini, okelah mungkin dia ga suka gue. Gue gapapa masalah itu. Udah biasa ditolak secara halus begitu. Yang secara kasar aja pernah. Tapi, yang gue ga demen ini tuh, dia mutusin komunikasi di antara kita. Itu yang paling gue ga suka itu. Udah kenal, udah deket, tapi ga ada komunikasi. Kenal tapi seperti ga kenal. Kan kampret gue dan dia nambah dosa karena ga berkomunikasi. Eh, dia doang sih, karena dia yang mutusin komunikasinya, gue sih niatannya
     Jadi, hanya karena event feodalisme ini, gue jadi putus komunikasi sama dia. Putus silaturahim sama dia. Pokoknya kayak kertas digunting jadi dua. Selesai. Tinggal nunggu aja kalo pas Idul Fitri, dia ngomong sama gue, walau cuma sebatas ya, ucapan formal Hari Raya begitu atau say hi dan nanya kabar. Kalo ngga, ya tambah numpuk deh dosanya.
     Kalo melihat kisah gue ini, gue jadi ingat salah satu lagu dari band Naif yang berjudul Air dan Api. Ada bait yang cukup menyentil di lagu itu.

Mengapa kita saling membenci
Awalnya kita selalu memberi
Apakah mungkin hati yang murni
Sudah cukup berarti
Ataukah kita belum mencoba
Memberi waktu pada logika
Jangan seperti selama ini
Hidup bagaikan...
Air dan api.

     So, what will I do? I’ll wait what she will do. Only that. Will she talk to me such as the past or the worst situation throwing me back my ring if she doesn’t want it anymore. I hope she didn’t throw away or lost that ring because she hates me at that time.
     The last but not the least, we gonna move with our own choice. Absolutely, the choice with the advantage and the loss. We take it all isn one packet. Then, respect what are people choose, because that is their way. Don’t ever insist someone to take your choice. It’s a fatal fault. Seriously. Better to let them flow with their choice or way. The last, never take the different to make you break up the connection with people that stand in the other side.
     Thanks for reading this weird post.
Regards,

Ksatria Koala

Between Life Principle and Love

by on 3/04/2015 08:04:00 PM
     Mungkin agak banci ya gue nulis begini, tapi ya ga ada salahnya gue berbagi disini, ya ga ada juga sih yang baca jadi ga apa-ap...