Antara Cinta, Kesendirian, dan Kesetiaan (2)



Sasaran mulia kita dalam hidup ini adalah untuk mencintai. Selebihnya hanya keheningan.
     Kita butuh mencintai. Walaupun cinta itu membawa kita ke negeri yang danau-danaunya diisi dengan air mata.
     Air mata mempunyai bahasanya sendiri. Kita merasa sudah menumpahkan seluruhnya, tapi masih juga air mata itu mengalir tak terbendung. Sebaliknya, saat kita yakin hidup kita ditakdirkan menjadi suatu perjalanan panjang di Lembah Kesedihan, tiba-tiba air mata itu berhenti mengalir.
     Sebab, kita berhasil untuk tetap membuka hati, walau di tengah penderitaan.
     Sebab, kita sadari bahwa orang yang meninggalkan kita tidak membawa pergi matahari bersamanya, tidak juga menyisakan kegelapan di tempat yang mereka  tinggalkan. Mereka sekedar pergi, dan dalam setiap perpisahan selalu tersembunyi sepercik harapan.
     Lebih baik pernah mencintai dan kehilangan daripada tak pernah mencintai sama sekali.
     Satu-satunya pilihan sejati kita adalah terjun ke dalam misteri daya yang tak terkendalikan itu. Bisa saja kita berkata, ‘Aku pernah mengalami penderitaan besar, dan aku tahu cinta ini juga tak akan bertahan lama,’ dan dengan demikian kita pun mengusir cinta yang datang mengetuk pintu. Tetapi, jika itu kita lakukan, berarti kita menutup diri terhadap kehidupan.
     Kita mencintai sebab cinta membebaskan kita, dan membuat kita berani mengucapkan hal-hal yang sebelumnya tak berani kita bisikkan pada diri sendiri sekalipun.
     Kita belajar berkata tidak, tanpa menganggap kata itu sebagai kutukan.
     Kita belajar berkata ya tanpa takut akan konsekuensi-konsekuensinya.
     Kita lupakan semua yang diajarkan kepada kita tentang cinta, sebab setiap pertemuan pasti berbeda dan membawa kepedihan serta sukacitanya masing-masing.
     Kita bernyanyi lebih lantang saat orang yang kita cintai berada jauh dari kita, dan kita bisikkan puisi-puisi saat dia dekat dengan kita, walau seandainya dia tidak mendengarkan dan tidak menaruh perhatian pada nyanyian maupun bisikan itu.
     Kita tidak menutup mata terhadap alam semesta, lalu mengeluh, ‘Gelap sekali.’ Kita justru membuka mata lebar-lebar, sebab kita tahu cahaya itu bisa menuntun kita untuk melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan. Semua itu bagian dari cinta.
     Hati kita terbuka untuk cinta, dan kita pasrahkan diri kepadanya, tanpa rasa takut, sebab tak ada lagi yang bisa diambil dari kita.
     Lalu, sesampainya di rumah, kita lihat ada seseorang yang menunggu kita. Orang yang mencari hal yang sama, mengalami kecemasan dan kerinduan-kerinduan yang sama.
     Sebab, cinta ibarat air yang berubah menjadi awan, air itu terangkat ke langit dan bisa melihat segala sesuatu dari kejauhan, menyadari bahwa suatu hari dia harus kembali ke Bumi.
     Sebab, cinta bisa diibaratkan awan yang berubah menjadi hujan. Hujan yang terpikat pada Bumi dan turun untuk mengairi ladang-ladang.
     Cinta hanya sebuah kata, sampai kita biarkan cinta menguasai kita dengan segenap dayanya. Cinta hanya sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberikan maknanya.
     Jangan pernah sekalipun menyerah. Ingatlah, kunci yang bisa membuka pintu selalu kunci terakhir dalam rangkaiannya.
***
     Setelah aku menjelaskan jawabanku, dia hanya terpaku menatap mataku. Seolah terbius dengan kata-kataku tadi. Lalu, dia berkata.
     “Untaian kata-katamu itu sangat indah. Seolah kamu paham betul tentang cinta. Namun, kenapa kamu masih sendiri?”
     Aku hanya tersenyum kecil ketika dia menanyakan hal itu, “Kesendirianku saat ini adalah takdirku. Hanya masalah waktu, Tuhan akan mengubah kesendirianku menjadi kebersamaan dengan orang lain yang akan menemaniku dan mencintaiku sampai sang Malaikat Maut menemuiku.”
     “Apa tak ada orang yang pernah mencintaimu?” tanyanya.
     “Sejauh ini tak ada. Makanya, aku masih mencari siapa yang akan mencintaiku. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku takkan pernah menyerah untuk masalah mencintai ini.”
     “Berarti, cintamu selalu bertepuk sebelah tangan?” tanyanya lagi.
     “Ya, sejauh ini iya. Bahkan pernah suatu ketika aku lulus dari SMA ku, aku merencanakan mengungkapkan perasaanku terhadap seseorang yang satu sekolah denganku. Perasaan yang sudah aku pendam selama hampir 3 tahun! Bayangkan, 3 tahun! Dan ketika aku mengungkapkannya, dia menolak dengan alasan menyukai orang lain yang tak lebih adalah temanku sendiri.”
     “Wah, ironis sekali.”
     “Kau boleh berkata seperti itu. Memang ironis. Perasaan yang kau semai dan kau jaga begitu lama, hancur lebur berkeping-keping dengan satu kalimat penolakan. Tetapi, dalam kasus-kasus cinta yang bertepuk sebelah tangan pun selalu ada harapan bahwa suatu hari nanti cinta itu akan berbalas.”
     Dia hanya terdiam sesaat, dan menanyakan sesuatu lagi.
     “Jadi, kau sudah menyendiri sejak kapan?”
     “Hampir setahun. Sejak dia yang tadi kuceritakan menolakku.”
     “Apa yang kau dapatkan dari kesendirianmu ini? Jujur saja, aku takkan sanggup untuk menyendiri selama itu,”
     Aku menyunggingkan senyumku, dan mulai menjawab pertanyaannya.
***
     Tanpa kesendirian, cinta takkan bertahan lama  disampingmu.
     Sebab, cinta perlu melepas lelah, supaya dapatlah dia berkelana di awan-awan surga dan menjelmakan dirikan dalam beragam rupa.
     Tanpa kesendirian, tanaman dan hewan takkan bertahan, tanaman tidak berproduksi, anak kecil tidak akan belajar tentang kehidupan, seniman tidak berkarya, pekerjaan tidak berkembang dan berubah.
     Kesendirian bukan berarti tak ada cinta, melainkan justru menyempurnakannya.
     Kesendirian bukan berarti tak berkawan, melainkan saat bagi jiwa kita untuk bebas berbicara dan membantu memutuskan yang hendak kita lakukan atas hidup kita.
     Maka, diberkatilah mereka yang tidak takut akan kesendirian, yang tidak gentar berkawan dengan dirinya sendiri, yang tidak senantiasa membutuhkan kegiatan, sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, sesuatu untuk dihakimi.
     Bila tak pernah sendirian, mana mungkin kau mengenal dirimu sendiri. Dan bila tidak mengenal dirimu sendiri, kau akan  mulai takut akan kekosongan.
     Namun, kekosongan itu tak ada. Sebab dalam jiwa kita ada semesta yang sangat luas dan menunggu ditemukan. Semesta itu ada dengan segenap kedigdayaannya yang utuh, namun begitu baru  dan perkasa sehingga kita takut mengakui keberadaannya.
     Dalam upaya menemukan diri, kita akan dipaksa mengakui bahwa kita sanggup melangkah lebih jauh ketimbang yang kita kira. Itu sebabnya kita takut. Lebih baik tidak mengambil resiko itu.
     Begitu rasanya lebih nyaman. Lebih aman. Lagi pula, itu sama saja dengan melepaskan kehidupanmu yang sekarang.
     Maka, celakalah mereka yang menghabiskan umurnya dan berkata, ‘Aku tak pernah punya kesempatan!’.
     Sebab hari demi hari mereka tenggelam semakin dalam di sumur keterbatasan-keterbatasan mereka sendiri, dan pada waktunya nanti mereka tak punya tenaga lagi untuk memanjat keluar dang menemukan cahaya terang yang memancar dari lubang di atas kepala mereka.
     Tetapi, diberkatilah mereka yang berkata, ‘Aku tidak cukup berani.’.
     Sebab, mereka tahu bahwa itu bukan salah siapa-siapa. Dan cepat atau lambat, mereka akan menemukan keyakinan yang dibutuhkan untuk menghadapi kesendirian beserta misteri-misterinya.
     Bagi mereka yang tidak takut pada kesendirian yang mengungkapkan segala misteri, semuanya akan terasa berbeda.
     Dalam kesendirian, akan mereka temukan cinta yang kedatangannya mungkin luput dari perhatian. Dalam kesendirian, mereka akan memahami dan menghargai cinta yang telah pergi.
     Dalam kesendirian, mereka bisa memutuskan, layakkah mereka meminta cinta yang telah pergi untuk kembali, atau sebaiknya biarkan dia berlalu dan membuka lembaran baru lagi.
     Dalam kesendirian, mereka akan belajar bahwa berkata tidak, belum tentu tanda tak murah hati, dan berkata ya, bukan selalu merupakan kebajikan.
     Dan mereka yang saat ini sedang sendirian, tak perlu merasa takut mendengar ucapan si Iblis, ‘Kau hanya membuang-buang waktumu.”
     Atau, bahkan ucapan si raja Iblis yang lebih beracun, ‘Tidak ada yang peduli padamu.”
     Energi Ilahi mendengarkan saat kita berbicara pada orang-orang lain, juga sewaktu kita berdiam diri, membisu, dan sanggup menerima kesendirian sebagai berkat.
     Dan pada saat-saat demikian, cahaya-Nya menerangi semua yang ada di sekitar kita dan membantu kita melihat diri kita dibutuhkan, dan bahwa kehadiran kita di dunia ini membawa perbedaan yang sangat besar terhadap karya-Nya.
     Dan saat keselarasan itu tercapai, kita telah mendapatkan lebih dari yang kita minta.
     Bagi mereka yang merasa tertekan oleh kesendirian, penting untuk diingat bahwa pada saat-saat paling krusial dalam hidup ini, kita selalu sendirian.
     Buktinya?
     Lihatlah anak kecil yang baru lahir dari rahim perempuan. Sebanyak apapun orang lain yang ada di sekitarnya, pilihan untuk hidup ada pada anak itu sendiri.
     Atau seniman dan penulis dengan karyanya. Agar karyanya benar-benar gemilang, mereka hanya perlu berdiam diri dan mendengarkan bahasa para malaikat.
     Ataupun saat kita berhadapan dengan Tamu Tak Diundang. Sang Maut. Kita akan sendirian pada saat paling penting dan paling ditakuti dalam eksistensi hidup kita.
     Seperti halnya cinta merupakan kondisi Ilahi, demikan pula kesendirian, merupakan kondisi manusia. Dan bagi mereka yang memahami keajaiban hidup kedua unsur tersebut, cinta dan kesendirian, hidup berdampingan dengan damai.
***

Bersambung...

2 komentar: